Gorontalo Memanggil
Gorontalo, fip.ung.ac.id – Sebagai daerah yang sedang berbenah, membangun dan meniti jalan meraih kemajuan, Gorontalo seakan memanggil siapapun yang berpijak di bumi Gorontalo dan bernaung di bawah langit Gorontalo, untuk berkiprah, bekerja dan berkontribusi bagi masa kini dan masa depan Gorontalo.
Tidak hanya sekadar bekerja dan berkarya, tapi siapapun orang Gorontalo juga memiliki peran dan tanggung jawab untuk memberikan secercah nilai yang dapat mengangkat harkat dan martabat Gorontalo sebagai daerah adat, sebagai daerah yang berjuluk serambi madinah.
Para leluhur Gorontalo telah mewariskan nilai-nilai, bahwa dalam hidup ini, hal penting itu adalah “modaha tilanggulo” atau menjaga nama baik agar tidak ternodai atau tercemar oleh tindakan-tindakan destruktif. Nilai-nilai etika dan moralitas menjadi landasan utama dalam bertindak dan bersikap yang berorientasi pada pencapaian hidup yang hakiki, dunia-akherat.
Dengan begitu, Gorontalo memanggil setiap orang Gorontalo dalam 2 dimensi kebaikan, yakni dimensi kekaryaan dan dimensi keluhuran budi yang sejatinya berlangsung, berjalan dan terjalin secara harmonis.
Dimensi kekaryaan, berarti Gorontalo memanggil setiap orang Gorontalo untuk berkiprah, bekerja dan berkarya memanfaatkan segala bentuk peluang dan potensi sumber daya yang ada untuk kemaslahatan diri, keluarga dan orang lain. Di Gorontalo ini, masih terhampar begitu luas berbagai potensi yang dapat dikembangkan sebagai modal dasar bagi masyarakat Gorontalo untuk meraih kehidupan yang lebih baik. Potensi pertanian, perikanan, peternakan, industri kecil, potensi pariwisata, perdagangan, sektor ekonomi kreatif dan potensi lainnya yang menunggu tangan-tangan terampil yang memiliki kemauan dan tekad untuk maju.
Orang Gorontalo saat ini dan ke depan tidak boleh hanya jadi penonton di negerinya sendiri, melainkan menjadi “pemain” dan pelaku yang aktif dalam percaturan dan dinamika kehidupan di bumi Gorontalo. Tekad dan kemauan untuk bekerja keras, berjuang dan berpikir untuk eksistensi orang Gorontalo menjadi sebuah keniscayaan yang mesti ada dan melekat kuat dalam pribadi setiap orang Gorontalo.
Keyakinan bahwa orang Gorontalo “bisa olo” menjadi sangat penting dimiliki oleh siapapun orang Gorontalo untuk berjuang dan berkompetisi di tengah persaingan yang semakin ketat.
Hal itu sekaligus menjadi bentuk ungkapan rasa syukur orang Gorontalo terhadap nikmat dan karunia Allah SWT yang telah menganugerahkan kekayaan sumber daya alam dan sumber daya manusia, terutama para leluhur Gorontalo yang telah mewariskan nilai-nilai budaya yang menjadi landasan dan spirit bagi orang Gorontalo untuk maju dan berkembang.
Generasi muda Gorontalo tidak hanya sekadar bangga, tapi juga mampu belajar dan mencontoh para tokoh yang berdarah Gorontalo yang telah dicatat dang mengukir sejarah di negeri ini sehingga mampu berkiprah di kancah nasional bahkan internasional. Sebutlah misalnya, BJ Habibie, Jhon Ario Katili, HB Jassin, Prof. Aloei Saboe, JS Badudu, Moh. Thayeb Gobel dan tokoh Gorontalo lainnya. Bahkan saat ini, Gorontalo memiliki para tokoh yang berkiprah di tingkat nasional seperti Sandiaga Uno, Zainudin Amali, Suharso Monoarfa yang duduk di Kabinet RI, kemudian ada tokoh seperti Rachmat Gobel yang menjabat Wakil Ketua DPR-RI dan mantan Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad yang menjabat Wakil Ketua MPR-RI, kesemuanya itu dapat menjadi sumber referensi dan inspirasi bagi generasi muda Gorontalo untuk bangkit dan percaya diri dalam berkiprah dan berkarya untuk Gorontalo.
Leluhur Gorontalo telah mewariskan nilai-nilai ideal yang sejatinya menjadi spirit bagi generasi muda untuk berkontribusi bagi Gorontalo dan bagi negeri ini. Leluhur Gorontalo misalnya, telah mewariskan nilai-nilai seperti yang tercetus melalui istilah “moulintapo” bahwa orang Gorontalo harus tampil cerdas, kemudian “motolopani” bahwa orang Gorontalo harus menjadi orang-orang yang trampil, kreatif dan memiliki kompetensi. Selanjutnya “motoyinuto bahwa orang Gorontalo harus mampu berbicara, berpidato dan cakap dalam mengolah kata, adalah bagian penting yang patut untuk terus dimaknai. Bahkan orang Gorontalo harus memiliki “kulupani” yakni mampu memperhitungkan, menghitung, mengkalkulasikan dan menganalisis serta mengkaji fenomena yang ada sehingga mampu merumuskan langkah dan solusi mengatasi persoalan yang ada.
Dengan demikian, Gorontalo memanggil tidak hanya sekadar memanggil setiap orang Gorontalo agar terpanggil untuk membangun sendi-sendi kehidupannya secara konstruktif, tapi juga telah menyuguhkan nilai-nilai filosofis yang patut untuk terus dimaknai dan dihayati oleh orang Gorontalo di manapun dan sampai kapanpun.
Selanjutnya, dimensi keluhuran budi, berarti Gorontalo memanggil setiap orang Gorontalo untuk tetap menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas agama dan adat-istiadat yang diwariskan oleh leluhur Gorontalo. Nilai-nilai yang terkandung dalam “wu’udu”, yang mengajarkan tentang sopan santun, pembawaan, etika dan adab. Kemudian nilai-nilai yang tersirat dari istilah “tinepo” yang mengajarkan tentang bagaimana menghormati dang menghargai orang lain. Demikian juga dengan nilai-nilai “Tombula’o” yang mengajarkan tentang pentingnya berbagi untuk kemanusiaan. Kesemuanya itu menjadi instrumen penting bagi menjaga Marwah dan jati diri orang Gorontalo yang berpikiran maju, namun tetap dalam bingkai yang tidak pernah tercerabut dari akarnya, yakni tetap mewarisi keluhuran budi pekerti yang mumpuni.
Gorontalo memanggil, maka orang Gorontalo sejatinya tergugah dan terpanggil. Yakni keterpanggilan untuk membumikan karya dan karsa yang membawa kebaikan dan kemaslahatan bersama. Bukan malah sebaliknya menebar kebencian, dendam dan manuver yang jauh dari nilai-nilai ke-Gorontaloan yang konstruktif.(***)