Iman, Aksi dan Sabar
Gorontalo, fip.ung.ac.id – Tulisan ini terilhami oleh ungkapan mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, ketika ditanya tentang kunci suksesnya hingga menjadi salah seorang milyader dan menjadi orang nomor satu di negeri Paman Sam itu. Sebagaimana dikutip Tjahyo Harry Wilopo dalam bukunya Habit Is Power (2021), Donald Trump mengatakan “ Sukses tak terjadi begitu saja, ia hanya akan mendatangi orang-orang yang berani beraksi dan bertindak”.
Memang sepintas ungkapan itu biasa saja, akan tetapi dalam realitas kehidupan sehari-hari sering dijumpai, bahwa banyak orang yang memiliki mimpi-mimpi hebat, cita-cita yang tinggi, memiliki ide dan gagasan yang cemerlang,namun hanya sedikit diantara mereka yang berani mengambil keputusan untuk beraksi dan bertindak mewujudkan mimpi serta ide cemerlang itu.
Artinya, sehebat apapun ide dan gagasan, setinggi apapun cita-cita dan obsesi, namun jika tidak diikuti oleh tindakan, aksi dan ikhtiar, maka hanya akan menjelma menjadi sebuah angan-angan yang berpotensi memunculkan pikiran “halu” alias halusinasi. Oleh karena itu, berani beraksi dan bertindak cerdas adalah instrumen penting yang patut menjadi rujukan.
Jika menelaah jejak hidup mereka yang meraih sukses menggapai cita-citanya, maupun mencermati jejak hidup mereka yang melahirkan karya dan karsa serta mampu mewujudkan ide dan gagasan cemerlangnya ke dalam dunia nyata,ternyata mereka adalah deretan manusia yang berani mengambil keputusan dan berani bertindak serta berani beraksi.
Kesuksesan atau keberhasilan, tidak mungkin dapat diraih hanya dengan kumpul-kumpul dan “nongkrong” setiap hari di kedai-kedai kopi, apalagi hanya rebahan setiap saat sambil menggenggam android dan memainkan jari-jemari di media sosial (medsos), main game dan sebagainya. Keberhasilan sangat dekat dan identik dengan kerja, Sukses juga sangat terkait erat dengan waktu dan proses.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, tindakan, aksi, ikhtiar dan kerja memiliki korelasi dengan produktifitas dan daya saing. Karena sesungguhnya, program pemberdayaan masyarakat yang dicetuskan pemerintah, pada dasarnya bermuara pada upaya, bagaimana setiap individu warga negara dapat berproduksi, menghasilkan sesuatu yang “tidak ada” menjadi ada, sesuatu yang tidak bernilai ekonomi menjadi bernilai ekonomi. Itulah yang disebut dengan kemandirian atau masyarakat yang “berdikari” berdiri di atas kaki sendiri.
Itulah sebabnya dalam tataran pemerintahan, partisipasi masyarakat tidak hanya dimaknai sebagai sumbangsih masyarakat menunaikan “kewajibannya” sebagai warga negara, seperti membayar pajak, retribusi dan sebagainya, tapi partisipasi masyarakat memiliki arti yang luas, yakni setiap individu warga negara dapat memanifestasikan harga diri kemanusiaannya secara sadar dan meyakinkan dengan “bekerja”, beraksi dan bertindak cerdas, minimal untuk memenuhi hajat hidup dan kehidupannnya.
Dalam kondisi yang demikian, maka pemerintah di semua tingkatan, dalam tataran aplikasinya hanya dapat dipandang dan dimaknai sebagai “fasilitator” dan dinamisator”, yakni memfailitasi masyarakat agar menjadi dinamis. Memfasilitasi terwujudnya pembangunan infrastrktur jalan misalnya, infrastruktur jembatan dan sebagainya untuk memperlancar arus distribusi barang dan jasa, termasuk memfasilitas masyarakat dalam memperoleh layanan penunjang lainnya.
Dengan begitu, partisipasi masyarakat terhadap negara, berawal dari kesadaran individu yang kemudian menjelma menjadi kesadaran kolektif untuk menata hidup, mengurai tantangan menjadi peluang dengan memanfaatkan waktu dengan semaksimal mungkin. Terkait waktu, pada umumnya mereka yang sukses dan berhasil menggapai cita-cita, kemudian mampu berkarya dan berorientasi pada hasil, adalah mereka yang mampu mengelola waktu dengan sangat baik.
Artinya, bagi orang sukses, waktu merupakan sesuatu yang sangat berharga sehingga menjadi sangat sia-sia dan merugi jika dilewatkan begitu saja tanpa ada “nilai” yang dapat direngkuh. Hal ini sejalan dengan ajaran Islam, khususnya dalam Surat Al-Ashr, yang artinya, “Demi Masa, sesungguhnya, manusia berada dalam kerugian”, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran”.
Bekerja dan berikhtiar menggapai kehidupan yang lebih baik, adalah bagian dari ibadah dan sebagai manifestasi iman. Bekerja dan berikhtiar berarti memanfaatkan waktu dan kesempatan hidup dengan sebaik-baiknya demi kebahagiaan dunia-akherat. Bekerja dan berikhtiar tercakup di dalamnya adalah kesabaran yang menjadi benteng pertahanan. Seorang yang berotak jenius dan milyader dunia, Bill Gates saja yang nota bene seorang Yahudi bahkan mengakui tentang pentingnya sabar dalam meraih sukses denganmengatakan ; “Patience is the key element of succes”, atau kesabaran adalah elemen kunci kesuksesan.
Memang dalam aspek keduniawian, terkadang orang barat dan Yahudi, justru tampil lebih Islami dibandingkan dengan orang Islam itu sendiri. Spirit hidup dan kesuksesanmereka, ternyata banyakyang digali dari Al-Qur’an yang justru terabaikan oleh ummat Islam sendiri, terutama dalam aspek mengemban amanah sebagai khalifah di muka bumi.Bahkan terkadang, banyak diantara kita yang terjebak dalam “sabar yang salah kaprah”, semisal sabar yang diidentikkan dengan “pasrah”ataumenyerah pada keadaan.
Dalam mindset orang-orang sukses, sabar adalah kunci dari segalanya. Sabar menekuni profesi dengan terus mengolah dan memberdayakan potensi diri secara maksimal, kemudian menggali khasanah keilmuan, membaca dan mengeksplorasi ilmu pengetahuan dan teknologi, memanfaatkan dan mengembangkan anugrah Allah SWT di jalan yang baik dan dapat bermanfaat bagi orang lain dan sebagainya.
Karena menginginkan hasil terbaik, mereka menjadi sabar dalam menjalani proses. Dengan sabar mereka menjadi tekun dan rela menghabiskan waktu untuk mempelajari hal-hal baru dari berbagai sumber, baik membaca yang tersurat maupun membaca yang tersirat, demi tercapainya hasil yang maksimal. Hal itu, juga sejalan dengan ayat yang pertama turun dalam Al-Qur’an “ Iqra, iqra”,yang artinya bacalah,bacalah ; yang justru diabaikan oleh bangsa Indonesia yang notabene mayoritas Islam. Tidak heran, jika indeks membaca orang Indonesia terbilang sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia.
Demikian pula, kebanyakan orang-orang yang sukses, senantiasa sabar menghindari perilaku-perilaku yang hanya berorientasi pada “kenikmatan sesaat”, sabar menunda kesenangan demi kebahagiaan hakiki. Bahkan, meski sudah mapan, mereka tidak lantas berhura-hura atau berfoya-foya melainkan tetap tampil sederhana dan tetap berikhtiar, bekerja dan berkarya untuk memberi manfaat bagi orang banyak. (***)