Ong Eng Die, Gorontalo, dan Indonesia di Panggung Dunia

Gorontalo, fip.ung.ac.id – Tokoh besar ini bernama Ong Eng Die. Lahir di Gorontalo pada 20 Juni 1910. Pada tanggal 30 Juli 1953 Presiden Soekarno memilih Dr. Ong Eng Die sebagai Menteri Keuangan R.I (SK. No. 132 Tahun 1953), di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo.

Di masa itu, menurut Prof. Lindblad (2009:44), posisi tokoh nasional Tionghoa-Peranakan menjadi menteri keuangan adalah “highly unusual” (sangat tidak biasa dan tidak terbayangkan). Apalagi, Kabinet Ali Sastroamidjojo adalah sebuah koalisi antara PNI, NU dan PIR; ini sekaligus berarti bahwa kekuatan PSI dan Masyumi tidak masuk di dalamnya.

Peran Dr. Ong Eng Die sebagai tokoh PNI dan Menteri Keuangan sudah pasti sangat berperan atas suksesnya Konferensi Asia Afrika (KAA) pada bulan April 1955 di Bandung. Di kabinet Ali Sastroamidjojo yang pertama ini, Ong Eng Die sebaris dengan tokoh-tokoh nasional lainnya, antara lain Muhamad Yamin (Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan); Sunario (Menteri Luar Negeri), Iwa Kusumasumantri (Menteri Pertahanan), Abikusno Tjokrosujoso (Menteri Perhubungan) dan K.H. Masjkoeh (Menteri Agama).

Peran besarnya sebagai Menteri Keuangan pada periode Juli 1953-Juli 1955 diperkuat oleh posisinya sebagai proponen PNI (Partai Nasional Indonesia). Sayang sekali, kisruh kabinet Ali Sostroamidjojo –-karena masalah korupsi demi menopang partainya— dan melemahnya dukungan parlemen akhirnya membuat peran Ong Eng Die ikut pula berhenti di pentas nasional (Linblad, 2009).

Ong Eng Die (Wang, Yung-li) adalah Doktor bidang Ekonomi. Dia menulis disertasi di Universiteit van Amsterdam di bawah bimbingan Prof.dr.H.N ter Veen dan dinyatakan lulus pada 21 Januari 1943. Dalam disertasinya (Chineezen in Nederlandsch-Indië: Sociografie van een Indonesische Bevolkingsgroep), Ong Eng Die menerapkan pendekatan sosiografi dalam memperlajari komunitas Tionghoa di Hindia Belanda. Selama studi di Belanda, Ong Eng Die aktif dalam organisasi Mahasiswa Indonesia, tercatat sebagai salah satu pendiri Vereniging Nederland-Indonesië (VNI) dan menjadi penulis produktif di majalah terkenal Indonesia yang banyak membahas Tionghoa-Indonesia (Poeze, 2014 [1986]).

Beliau pernah bekerja sejenak di Bank Pusat Indonesia, Jogjakarta; menjadi Deputi Menteri Keuangan di Kabinet Amir Sjarifuddin (1947-1948). Berposisi sebagai penasehat delegasi Indonesia di Perjanjian Renville (Suryadinata, 1981: 100-101 [ISEAS, 1978)

Atas karya-karya ilmiahnya dan keterlibatannya dalam politik nasional serta pemikiran ekonominya yang cermat untuk Indonesia (melalui PNI pimpinan Soekarno), Ong Eng Die dinyatakan oleh historian ekonomi Indonesia Thee Kian Wie dalam bukunya Indonesia’s Economy Science since Independent (ISEAS Singapore, 2012) sebagai “pakar ekonomi” dan banyak “melayani PNI”.

Peran Ong Eng Die di masa Soekarno cukup unik karena setahun setelah diangkat sebagai Menteri Keuangan, beliau juga ditunjuk Soekarno menjadi Gubernur Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (SK No. 130, tertanggal 28 Juni 1954). Dalam kapasitas inilah Ong Eng Die (Gubernur IBRD) diberi tugas khusus oleh Presiden Soekarno menghadiri Sidang Tahunan Dewan Gubernur IX pada pertengahan September 1954 di Washington, Amerika Serikat. Beliau berangkat dari Jakarta 2 September 1954.

Selanjutnya, Ong Eng Die ditugaskan mengunjungi Eropa Barat guna melihat dunia industri di sana. Negara yang akan dituju sudah ditentukan dalam surat tugas presiden tersebut, yaitu Nederland, Paris, Bonn (Jerman) dan Roma. Di Amerika sendiri, Ong Eng Die hanya sekitar 10 hari dan untuk di masing-masing negara di Eropa jatah waktunya sudah dipastikan kisaran waktunya sedemikian rupa: 2 hari di Roma, 5 hari di Bonn, 5 hari di Paris dan 2 hari di Nederland. Semua tugas ini tertuang dalam SK Presiden No. 172, tanggal 1 September 1954.

Penting pula dicatat di sini bahwa Ong Eng Die adalah penentu awal gagasan tentang Bank Indonesia (BI). Pada tahun 1955, sebagai Menteri Keuangan, Ong Eng Die sudah menegaskan bahwa “masa depan nasionalisasi (ekonomi) Indonesia harus diikuti oleh pengaturan yang dicontohkan oleh Bank Indonesia…”. Hal ini sangat penting karena akan berdampak pada posisi dominan Indonesia dalam tata-kelola (sektor) finansial dan perbankannya. Upaya ekstra Ong Eng Die menata sistem (awal) ekonomi Indonesia, terutama di bidang perdagangan internasional, sangat jelas memihak kepada nasionalisasi ekonomi Indonesia. Ia bahkan memaksa agar “40% keutungan dari korporasi asing di Indonesia akan ditahan (sedemikian rupa)” semata-mata untuk memastikan dampak internalnya bagi stabilitas perdagangan Indonesia.

Gagasan menguatkan sektor ekonomi Indonesia di tingkat internasional antara lain digagas oleh Ong Eng Die. Bersama Sumitro Djojohadikusumo sebagai direkturnya, pada Desember 1946, dibentuklah Banking and Trading Company (BTC). Sejak itu direncanakan memperkuat relasi dagang dengan Amerika Serikat. Bahkan sudah dirancang kemitraan untuk ekspor Indonesia ke Amerika, khususnya produk karet, gula, kulit kina dan serat, sementara Amerika akan impor tekstil ke Indonesia (Post, 2009:78). Memang, menurut beberapa penilaian, fokus kerja BTC adalah sebagai “pranata perdagangan” daripada sektor perbankan, khususnya dalam konteks pelibatan perusahaan swasta di Jawa dan Sumatera (Zed, 1993:42).

Meski demikian, jejak Ong Eng Die dalam menata sistem (awal) ini merupakan sesuatu yang fundamental: kemitraan pemerintah dan swasta, serta berhasil membuka cabang di Sumatera, Singapore dan Jawa.

Nasionalisme Ong Eng Die tertempa dari proses belajar (di Amsterdam) dan perjumpaan lintas kulturalnya dengan lokalitas Hindia Belanda –hal mana ia alami sendiri dan keluarga besarnya di Gorontalo dan di Jawa–. Ong Eng Die termasuk generasi kedua dari Tionghoa-peranakan Gorontalo yang mengecap banyak dinamika hidup di Hindia Belanda. Beliau berada di garis kesekian dari keturunan “Po Djoe” yang awalnya tiba di Amurang, sekitar tahun 1810, yang kemudian tumbuh-menyebar-membumi di Gorontalo sejak pertengahan abad ke-19. Sebuah silang budaya, silang sejarah dan silang pemikiran yang hebat. (***)

Leave a Comment