TUTUHIYA

“Tutuhiya” merupakan istilah yang sudah tidak asing lagi di tengah masyarakat Gorontalo. Secara terminologi, Tutuhiya adalah istilah Bahasa Gorontalo yang mengandung arti “saling menjatuhkan” yang berasal dari kata “Tutuhi” yakni sebilah kayu atau bambu yang biasa digunakan untuk “mencungkil” atau menjatuhkan buah yang masih berada pada pohonnya. Seseorang yang tengah melakoni pekerjaan itu disebut “Hemoluhi”.

Biasanya, buah yang dicungkil dan dijatuhkan adalah, buah dari pohon yang menjulang tinggi, sepertu buah pohon mangga, pepaya, rambutan dan masih banyak lagi. Demikian juga, buah yang biasa dicungkil dan dijatuhkan adalah buah yang sudah matang, mengkal dan buah yang sudah bisa dipanen pada umumnya.

Pekerjaan atau upaya untuk mencungkil atau menjatuhkan buah ini, selanjutnya menjelma ke dalam ranah kehidupan sosial kemasyarakatan yang dipersepsikan atau dihubungkan dengan fenomena “saling menjatuhkan” yang biasanya menggejala dalam realitas kehidupan di masyarakat.

Dalam kehidupan ini memang terdapat fenomena kehidupan yang selalu berlawanan. Ada yang sukses meraih prestasi yang membanggakan, meraih puncak karir yang cemerlang, sukses dalam dunia usaha dan masih banyak lagi. Di satu sisi, ada juga yang tidak seberuntung orang lain yang selanjutnya dalam aspek-aspek tertentu, bisa saja, bahkan berpotensi  melakukan tindakan-tindakan destruktif, semisal melakukan berbagai upaya agar orang yang sudah menggapai “posisi” yanb di atasnya tersebut dapat jatuh terpuruk seperti buah mangga yang jatuh dari pohonnya.

Fenomena ini menggejala secara global, tidak mengenal suku, agama, ras dan kawasan tertentu. Hal itu terjadi, karena sangat terkait erat dengan akhlak, karakter, kepribadian dan keluhuran budi yang disandang oleh setiap orang. Bagaimanapun, derajat akhlak, karakter dan budi pekerti setiap orang memiliki tingkatan-tingkatannya.

Dengan demikian, dalam ranah yang lebih luas dan mendalam, Tutuhiya yang berarti saling menjatuhkan, bukanlah budaya atau identik dengan masyarakat dari suku tertentu, melainkan sebuah sifat, mentalitas dan karakter yang berpotensi dapat dilakukan oleh setiap individu di mana saja dan kapan saja yang bersifat universal.

Oleh karena itu sangat tidak tepat, jika budaya atau mentalitas “saling menjatuhkan” diidentikkan, ditempelkan dan dilekatkan pada suku atau daerah tertentu. Hal itu terjadi, karena sifat dan karakter itu bersifat universal dan temporer yang potensial dapat dilakukan oleh siapapun, kapanpun dan di manapun.

Karena sangat terkait erat dengan aspek moralitas, maka Tutuhiya pada awalnya bersumber dari individu-indovidu  yang selanjutnya berkembang menjadi sebuah fenomena yang cenderung destruktif yang menggejala secara lebih luas di tengah masyarakat.

Jika ditelaah secara lebih mendalam, sumber utama fenomena Tutuhiya, bersumber dari penyakit hati, seperti iri hati, dengki, dendam atau ketidaksenangan terhadap nikmat yang diraih seseorang. Atau “susah melihat orang senang, senang melihat orang susah”. Fenomena ini seakan sudah menjadi sebuah naluri yang terkadang menempatkan derajat manusia berada pada titik nadir yang paling rendah.

Oleh karena itu, akhlak merupakan puncak dari keluhuran dan ketinggian ajaran Islam, sebagaimana Hadis Nabi SAW yang artinya ; ” Sesungguhnya aku diutus Allah untuk menyempurnakan Akhlak Manusia”.

Penyakit hati atau kemerosotan akhlak, merupakan sumber dari persoalan-persoalan duniawi yang menjadi sekat yang membatasi manusia sulit menembus hakekat kemanusiaan yang dianugrahi akal.

Dalam konteks mewujudkan kemajuan, sangat jelas, fenomena Tutuhiya ini menjadi salah satu resistensi yang dapat menghambat proses pembangunan. Mengapa? Karena sebuah kemajuan hanya bisa diraih melalui persaingan yang sehat, kompetisi yang berbasis pada kompetensi. Artinya, untuk meraih sukses misalnya, meraih pangkat dan jabatan atau meraih kekayaan, maka sejak dini, kompetensi, etos belajar, etos kerja, kapasitas dan kemampuan mumpuni menjadi prasyarat mutlak. Bukan sebaliknya, kualitas diri dan kualitas akhlak yang tidak kompetitif yang ditonjolkan.

Dalam kerangka mencapai hakekat diri, berupa kompetensi dan profesionalisme dalam bekerja dan dalam berkiprah di manapun, menjadi bagian yang teramat penting untuk dimaknai dan dihayati. Selain itu, upaya untuk mengeliminir penyakit hati, maka kualitas akhlak menjadi prasyarat mutlak. Itulah yang disebut dengan dimensi hidup yang paripurna. Yakni  di satu sisi meningkatkan kualitas kompetensi dan profesionalisme kerja dan kualitas kepribadian di sisi yang lain.

Dalam era persaingan saat ini, tidak ada jalan lain, kecuali memperbaiki diri, meningkatkan keterampilan dan memperbaiki performance kepribadian yang unggul. Saling sikut, saling menjatuhkan atau mencsri-cari kesalahan orang lain, sudah bukan zamannya lagi untuk ditonjolkan.

Masih terhampar begitu banyak potensi di negara ini yang menunggu uluran tangan-tangan trampil yang profesional dan memiliki mental baja untuk dikembangkan hingga memiliki nilai tambah bagi kehidupan ini. Di sektor ekonomi kreatif misalnya, begitu banyak potensi sumber daya alam yang dapat diolah menjadi komoditi yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat.

Jika ada tetangga, teman, sahabat bahkan kerabat yang mampu menggapai kehidupan yang lebih tinggi, maka sejatinya hal itu menjadi sumber motivasi untuk meraih kehidupan atau prestasi yang sama atau lebih baik lagi. Bukan malah sebaliknya, berupaya menjatuhkan atau melakukan tindakan-tindakan destruktif yang justru menjadi bumerang bagi kehidupan ini kelak. Modelo hilawo, itu yang lebih baik, bukan motutuhiya. (***)

Leave a Comment