Generasi (Terbaik) Gorontalo
Gorontalo, fip.ung.ac.id – Generasi (Terbaik) Gorontalo adalah K.H. Jauw, seorang pemuda-peranakan Tionghoa Gorontalo yang berhasil berjuang membebaskan kliennya di pengadilan atas sebuah dakwaan yang menimpa Said Abdullah Alhasni di hadapan Landraad di Gorontalo, 26 Agustus 1926. Pengadilan di masa kolonial ini menerapkan hukum modern dalam menyelesaikan setiap perkara, termasuk dengan warga pribumi. Keng Hong (K.H) Jauw adalah sarjana hukum (Mr) Hukum pertama yang pernah dilahirkan Gorontalo.
Surat kabar Persaudara’an (1926) menyebut bahwa “tanah air K.H. Djauw adalah Gorontalo…”. K.H. Jauw lahir di Gorontalo 15 Mei 1895, sarjana hukum dari Amsterdam (1920-23) dan Leiden (1923-25). Beliau lama bekerja sebagai hakim pengadilan Eropa dan pengacara di Semarang, kemudian pindah ke Palembang. Menjadi calon parlemen (Baperki) pada Pemilu 1955, utusan Sumatera Selatan (Suryadinata, 1978 [1981]: 37).
Kisah berlanjut. Sembilan tahun kemudian. Tiba di Gorontalo pada 10 Februari 1934 dari Surabaya, seorang ulama besar Sayid Salim Bin Djindan di Kota Gorontalo. Beliau diterima oleh Sayid Moehsin Alhadar, putra almarhum Mohamad Alhadar (Leutenant Arab Gorontalo). Ramai betul di hari-hari itu, tidak kurang 300 orang warga kota Gorontalo, komunitas Arab, Banjar, Bugis, yang menyambut kehadiran beliau.
Sayid Salim Bin Djindan terterima luas, banyak mengunjungi rumah-rumah bangsawan dan pemuka masyarakat Gorontalo, termasuk bersama-sama dengan Jogugu di Suwawa, Tapa, Limboto, Kwandang, dan berdakwah di tengah-tengah komunitas Matowa-Bugis dan kelompok masyarakat Arab Gorontalo. Di masjid Jami Kota Gorontalo, para ulama, Kadhi, Imam, pegawai Syara, dan warga setempat, semuanya tumpah-ruah di masjid mendengar ceramah beliau. Koran Kewadjiban (1934) memberitakan angka ribuan orang yang hadir memeriahkan kehadiran Sayid Salim Bin Djindan di Gorontalo.
Indikasi datanya cukup kuat bahwa di awal 1920an, kosmopolitanisme dan generasi terdidik awal Gorontalo pelan tapi pasti mulai terbentuk dan berperan. Untuk kebutuhan pendidikan, beberapa kota di Jawa adalah tujuan utama, antara lain Jogjakarta dan Batavia. Di antara generasi awal itu, H.B Jassin cukup unik karena mengecap pendidikannya di Balikpapan, Tondano, dan Medan (MULO). Sepanjang periode 1923-1940an kehadiran guru-guru dari Jawa, dokter pribumi, dan organisasi Muhammadiyah berkembang arusnya ke Gorontalo, secara khusus melalui organisasi Sarikat Islam (S.I) yang intens bergerak sejak 1923.
Tanda-tanda keterpelajaran generasi awal (elite modern) Gorontalo tampak dari karakternya: nasionalis, kosmopolit, lintas wilayah, organisasi, dan ‘agamais’. Sisi lainnya, mereka mulai menggerakkan dunia tulis-menulis, beroleh dukungan percetakan (milik) peranakan Tionghoa. Harus diakui bahwa di antara mereka memang sebagiannya diwarnai percaturan “golongan” (pemahaman dan jaringan) organisasi keagamaan (Islam) di periode tersebut. Tercatatlah terbitan koran dengan edisi dan lembaran sangat terbatas, antara lain: ‘Kewadjiban Kita’ (April 1934) dan ‘Peringatan’ (Maret 1934). Tak lama berselang, terbit pula “Pelita Kaoem” yang diasuh oleh A.R. Onge (1934).
Koran “Peringatan” diterbitkan oleh percetakan asuhan Tionghoa peranakan Gorontalo, Yo Un Ann & Co. Polemik (pemahaman) keagamaan mulai terpantulkan di ruang publik di akhir 1920an, sebagaimana polemik awal terjadi antara “Peringatan” (1934) dan “Kewadjiban Kita” (1934). Di masa yang sama, Gorontalo juga memilik ruang pemberitaan yang lain –-namanya pekabaran Keng Hwa Poo, 1920-1941 (sepertinya tercetak/terbit di Manado tetapi rutin memuat berita-berita Gorontalo).
Penerbitan Gorontalo sudah tercatat jejaknya sejak tahun 1926. Terbitan dua kali sebulan, surat kabar Persaudara’an (1926), dengan tokoh-tokohnya K. Ponamon, A. Noerdin dan kalangan muda Gorontalo. Terbit di Kampung Bugis, Gorontalo. Sangat unik terbitan ini karena tegas mendeklarasikan visinya sebagai “oentoek keperloean segala bangsa dalam pergaoelan…”. Lebih luar biasa lagi karena semangat “Kota Gorontalo” dilentingkan oleh redaksi surat kabar ini dengan menyatakan diri (hendak) “menyinarkan cahaya Gorontalo dari sini kepada Asia dan Eropa….terbitan ini untuk segala bangsa…”. Redaksi surat kabar ini juga mengakui beroleh aspirasi dari surat-surat kabar di Jawa dan Sumatera dan bagaimana dinamika masyarakatnya di wilayah tersebut. Secara fisikal, surat kabar inilah yang bisa disebut sebagai terbitan pertama di Gorontalo yang berbahasa Indonesia, 1926-1927 (Lapian, 1980: 91-92).
Puncak ‘paripurna’ dari generasi terbaik-terdidik awal Gorontalo adalah ketika mereka menerbitkan Po-Noewa pada November 1932. Ini adalah “bukti terbaik” Literasi Gorontalo yang patut dikenang dan dibanggakan karena di dalamnya berisi banyak artikulasi pikiran, bacaan-bacaan, perdebatan, etika generasi, penyadaran kebangsaan, dan prosesi pendidikan yang terbuka dan kritis. Dalam Po-Noewa, kita juga sudah bisa melihat bagaimana “Barat”, pikiran-pikiran dunia dibicarakan di Gorontalo, bahkan terbaca/tersebar sampai di Kwandang, Gorontalo Utara. Di periode ini, kehadiran tokoh-tokoh pendidikan dari Jawa, disertai kemampuan beroganisasi mereka, bersama-sama membentuk sejarah (awal) pendidikan dan nasionalisme di daerah ini.
Tercatatlah Rekso-Soerjo Instituut. Lembaga ini menggerakan hak-hak pendidikan anak-anak pribumi di Gorontalo sejak 1930an, dengan mendirikan sejumlah kursus dan sekolah HIS. Semasa dengan ini, tercatat pula tokoh pendidikan terkenal yang jejaknya masih bisa kita saksikan hingga hari ini, yakni seorang Guru yang luhur cita-citanya, Haji Bakari (Madrasah Al-Watanijah). Di peiode ini, pendidikan di Kwandang juga mengalami pertumbuhan, dikabarkan akan berdiri sekolah “Irhamoel Baladiyah” (1934).
Tak lama setelah itu, kita juga menemukan dua orang terpelajar yang menerbitkan surat kabarnya dua kali dalam sebulan, yakni H. Mohamad dan I. Doenggio (1934). Keduanya telah membahas isu besar di Gorontalo, yakni tentang “praktik Islam” yang pemahamannya telah berlangsung berabad-abad. Beberapa penulis awal Gorontalo, tercatat: Moehamad Abdoeh dan S.M.Tahir (penulis puisi/syair).
Jejak di atas menggema pada periode panjang selanjutnya (1950-1970) di mana tekanan ekonomi, aspirasi pendidikan, pertumbuhan pemerintahan, persekolahan regional, dan jejaring keluarga Gorontalo di kota-kota utama di Indonesia berkembang. Di masa ini, kota-kota seperti Makassar, Manado, Bandung, Jakarta, Semarang, dan Surabaya menjadi “rumah harapan” bagi generasi Gorontalo. Di masa itulah pula, topangan sektor pertanian, terutama Kelapa/Kopra, berhasil menopang mobilitas tenaga kerja dan perjumpaan kewargaan di dalam Gorontalo dan di luar Gorontalo.
Kisah-kisah (generasi-Gorontalo) “merantau”, cerita naik-turun pelabuhan-pelabuhan kapal kayu/uap mewarnai nostalgia generasi-merantau tersebut. Di sisi ini, “jejaring keluarga” dan “jejaring Nusantara” membentuk pola-pola penghidupan baru bagi generasi (terbaik) Gorontalo yang buah-buahnya kita saksikan hingga hari ini. Di setiap kota besar di Indonesia dan di beberapa negeri besar di dunia, kini kita menyasikan generasi Gorontalo dengan perannya masing-masing. Kini tantangannya adalah akan kita arahkan kemana jiwa-jiwa terbaik Gorontalo di abad ini. (***)