Guru Itu Kunci
Gorontalo, fip.ung.ac.id – Salah satu sumber kebanggaan sekaligus menjadi sumber referensi bagi masyarakat dan menjadi sumber inspirasi guru di manapun, adalah ungkapan yang mengatakan bahwa Guru adalah “Kunci”. Kunci berarti guru menjadi wahana “pembuka”, terutama membuka cakrawala alam berpikir seorang insan hingga ia tumbuh menjadi sosok yang ideal di tengah masyarakat.
Untuk menjadi kunci yang baik, bukan kunci yang “macet”, maka guru dituntut menelaah hakekat profesinya sebagai pendidik, yang tidak hanya mentransfer atau mentransformasikan ilmu pengetahuan kepada anak didik melalui kegiatan belajar-mengajar, tapi lebih dari itu, guru di manapun, juga diharapkan mampu menunaikan tugas sebagai “pendidik” yang cekatan, telaten dan penuh kesabaran untuk mengarahkan, membimbing dan menanamkan nilai-nilai karakter, nilai-nilai kejujuran dan tanggung jawab kepada peserta didik.
Itulah sebabnya, dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, guru pada hakekatnya menjadi “kunci” yang sangat menentukan nasib suatu bangsa. Cita-cita negeri ini yang hendak mewujudkan tatanan masyarakat yang adil, makmur, sejahtera dan sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang telah lebih dulu maju, dapat diibaratkan seperti bongkahan mutiara yang masih terkunci rapat dalam sebuah ruang. Maka Guru memegang kunci ruang itu.
Dalam konteks yang lebih luas, Guru itu sebagai kunci, tidak hanya semata-mata dilimpahkan atau dibebankan pada profesi guru, baik guru yang berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN), Guru kontrak atau guru honor, tapi guru sebagai “kunci” dapat dimaknai secara lebih luas, bahwa siapapun dituntut untuk tampil menjadi guru.
Orang tua yang baik bisa menjadi guru bagi anak-anaknya, politisi yang baik, dapat menjadi guru bagi kader-kadernya dan bagi masyarakat di lingkungannya, pemimpin yang baik dapat menjadi guru bagi bawahannya, tokoh agama, tokoh adat dan elemen masyarakat lainnya dapat menjadi guru bagi masyarakat di sekitarnya. Manifestasi sebagai guru itu, salah satunya dapat diwujudkan melalui keteladanan.
Orang tua dan masyarakat tampil menjadi guru, sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam sejarah peradaban manusia. Hal itu dapat terjadi, karena sekolah dan kampus sebagai institusi pendidikan formal yang melahirkan profesi guru atau dosen, secara lebih luas dan global baru menggema pada abad XVIII. Apalagi di Indonesia, sekolah formal dan swasta, baru berdiri pada awal abad XIX, setelah Ratu Wilhelmina menerapkan “politik balas budi” bagi rakyat Hindia Belanda (Indonesia) ketika itu.
Jauh sebelum itu, atau dalam peradaban masyarakat tradisional berabad-abad lamanya ; rumah, mesjid, ladang, kebun, sawah dan lingkungan alam lainnya, menjadi institusi pendidikan atau “Universitas Kehidupan” di mana orang tua, tokoh agama, tokoh adat dan elemen masyarakat lainnya, tampil menjadi guru atau dosen. Bahkan boleh disebut, justru dari Universitas Kehidupan inilah, ilmu pengetahuan, keterampilan, kemudian pendidikan karakter dapat terus hidup dan bersemayam dalam setiap kalbu masyarakat.
Dalam konteks masyarakat Gorontalo, jauh sebelum sekolah atau kampus hadir di tengah masyarakat, terdapat 3 elemen yang diajarkan dalam institusi Universitas Kehidupan kehidupan, di mana rumah menjadi institusi pendidikan dan orang tua tampil sebagai gurunya, yakni : Pertama, pendidikan karakter, yang dimanifestasikan melalui istilah “wu’udu, tinepo, tombulao, kemudian nilai-nilai “modelo hilawo, mo’odelo, pi’ili kawuli dan kalibi” dan seterusnya. Dalam perspektif masyarakat Gorontalo, pendidikan karakter dimaknai sebagai upaya untuk menanamkan nilai-nilai kesopanan, keramahan atau akhlakul karimah yang dimanifestasikan melalui “To dudelo” atau pembawaan seseorang.
Jika dalam perkembangannya, jika ada orang Gorontalo yang justru mencerminkan karakter atau perilaku maupun perangai yang tidak baik, maka orang tua dulu menyebutnya sebagai “watade” atau pembawaannya yang sudah tidak bisa diubah lagi, yang diibaratkan lebih “menyebalkan” dari seekor kambing atau “batade”.
Kedua, materi pelajaran yang diajarkan di Universitas Kehidupan, dimana orang tua menjadi guru, adalah “pendidikan kekaryaan”. Hal itu tercermin dari istilah “mo’ulindtapo, motolopani, kulupani” dan sebagainya yang kesemuanya itu, seakan menjadi sebuah “kurikulum” yang diajarkan dan diwariskan secara turun-temurun hingga mampu mendorong semangat orang Gorontalo untuk terus belajar dan mengasah keterampilan dan kreatifitas untuk bertahan hidup.
Ketiga, materi pelajaran yang diajarkan di Universitas Kehidupan, di mana orang tua tampil menjadi guru, adalah pendidikan kebangsaan. Salah satu kurikulum yang diajarkan misalnya, tentang “Payu Limo Totalu Lipu Pe’i hulalu” yang mengajarkan tentang bagaimana orang Gorontalo menjalin interaksi sebagai anggota masyarakat atau “umotonggo lipu” agar Gorontalo menjadi daerah yang aman dan tentram.
Itulah sedikitnya gambaran, betapa siapapun kita, dapat menjadi guru bagi orang lain. Artinya, Guru tidak hanya dimaknai sebagai sebuah profesi yang disandang dan harus dilakoni oleh mereka yang diangkat oleh negara untuk menjadi guru di sekolah atau menjadi dosen di kampus. Melainkan, siapapun kita dapat mendaulat dan mengangkat dirinya sebagai guru di Universitas Kehidupan, terutama bagi anak-anaknya, menjadi guru bagi orang lain dan menjadi guru bagi masyarakat di lingkungan kita masing-masing. Karena setiap kita menjadi pemegang kunci atas nasib bangsa ini.
Itulah yang disebut dengan Guru sebagai kunci, yakni setiap individu warga negara dapat tampil menjadi guru. Paling tidak menjadi teladan di tegah masyarakat. Dengan tampilnya setiap individu menjadi guru, maka generasi muda khususnya, kelak mengantongi “ijazah Universitas Kehidupan” sehingga menjadi generasi yang berkualitas, yakni generasi yang tidak mudah terjebak dan terjerumus pada perilaku yang menjadi resistensi kemajuan.
Patut diyakini, bahwa maraknya peredaran dan pemakaian narkotika, suburnya tindak kejahatan, praktek prostitusi yang merajalela dan bentuk pelanggaran hukum lainnya yang merebak di negeri ini, lebih disebabkan oleh mulai hilangnya institusi Universitas Kehidupan, di mana orang tua dan elemen masyarakat sebagai guru dan dosennya.
Pendidikan formal, berupa sekolah dan kampus itu penting, guru dan dosen sebagai profesi juga penting, namun Uiversitas Kehidupan, dimana rumah dan alam sekitar menjadi institusi pendidikan dan orang tua, tokoh agama dan tokoh masyarakat tampil menjadi guru dan dosen, justru jauh lebih penting. Karena kita adalah pemegang kunci atas nasib bangsa ini, Semoga. (***)