Daerah “Adat” Gorontalo

Gorontalo, fip.ung.ac.id – Sudah lama disebut-sebut bahwa Gorontalo adalah “wilayah hukum adat” ke-9 dari sembilan belas wilayah adat di Indonesia. Ini adalah klasifikasi yang dirumuskan oleh Professor Van Vollenhoven (1874-1933), sebagaimana termuat dalam tulisannya pada Juni 1907. Rumusan ini sangat besar artinya dalam sejarah Indonesia, terutama dalam hubungannya dengan pembentukan “kesadaran identitas” suku-suku bangsa di Indonesia.

Argumentasi Van Vollenhoven sangat mendalam karena melalui proses pengkajian yang panjang dangan penentuan kategori (hukum adat) yang cukup rumit. Dalam dua jilid buku seminalnya, Het Adatrecht van Nederlandsch-Indie (1918 dan 1931), ia telah membeberkan penjelasan panjang lebar. Meski belakangan muncul kritik dari sarjana antropologi yang lebih menekankan “variasi” budaya yang jauh lebih kompleks dalam setiap lokalitas di nusantara.

Teori Van Vollenhoven sangat menekankan komunitas-komunitas hukum (law communities) yang eksis di banyak wilayah di Indonesia (Nederlandsch-Indie). Hal ini sudah diajukannya sejak awal, terutama ketika menyampaikan pidato (inagural) professor-nya di Leiden tahun 1901. Ia menekankan tentang “struktur komunitas”, dengan menjelaskan keberadaan “komunitas pengadilan” lokal yang didasarkan pada adanya semacam “otonomi hukum” atau otoritas tertentu dalam menyikapi peristiwa-peristiwa domestik atau menyangkut “kepemilikan komunal” di sebuah teritori atau komunitas.

Gorontalo masuk dalam klasifikasi “daerah adat” (rechtskringen) oleh Van Vollenhoven karena alasan-alasan pokok di atas, dan secara khusus karena adanya “struktur geneologis dan relasi teritori” yang membentuk sebuah variasi tersendiri dalam praktik “komunitas hukum” yang bersifat komunal. Gorontalo termasuk dalam wilayah adat karena percampuran faktor tersebut, hal mana juga dialami oleh Ternate, Sumatera Selatan, Gayo dan tanah Batak. Di balik itu semua, faktor identitas “bahasa komunitas” dan “persamaan etnologis” menjadi salah satu elemen penting yang mendasari sebuah wilayah (hukum) adat.

Wilayah Adat di Indonesia menurut Van Vollenhoven (1907): (1). Aceh; (2) Gayo dan tanah Batak; (3) wilayah Minangkabau; (4) Sumatera Selatan; (5) wilayah Melayu (wilayah timur Sumatera di luar Batak), tapi bersama-sama dengan kepulauan Riau-Lingga; (6) Bangka dan Belitung; (7) Borneo, di luar Serawak dan Borneo Utara; (8) Minahasa; (9) Gorontalo; (10) Sulawesi Selatan; (11) wilayah Toraja; (12) kepulauan Ternate; (13) Ambon dan Maluku (Seram, Buru, etc); (14) Dutch New Guinea; (15) Timor; (16) Bali dan Lombok; (17) Jawa Tengah dan Timur, termasuk Madura; (18) Jawa Tengah; (19) Jawa Barat (Pasundan).

Saya mencatat ada dua kata Gorontalo yang digunakan dalam tulisan Van Vollenhoven (1907), yakni “kampung” (linula) dan land/tanah/lahan (huta) (Holleman, 1981).

Sejauh ini, setidak-tidaknya dalam konteks pembaca di Gorontalo, cukup sering penulis temui –bahkan dalam beberapa situasi ikut dilibatkan– dalam mempercakapkan tentang bukti-bukti kesejarahan Gorontalo yang memadai untuk dijadikan “legitimasi” atau klaim tertentu. Tak jarang banyak di antara pembaca kelas menengah yang menggunakan bahasa meragukan, bahkan dengan nada-nada yang cenderung “sinis” ketika mempertanyakan apakah Gorontalo punya bukti nyata tentang sejarahnya. Sikap seperti ini sangat bisa dimengerti, sebabnya terutama karena belum memadainya sumber bacaan atau publikasi yang cukup dan tersebar luas tentang daerah ini. Tampak terasa juga bahwa nyaris belum ada orang/tokoh yang (konsisten) memihak untuk produksi pengetahuan di daerah ini.

Bagian ini mencoba menyuguhkan beberapa hasil penelusuran yang memperlihatkan bagaimana eksistensi Gorontalo ditampilkan di tengah-tengah penggambaran geografis “Indonesia lama” (baca: Nusantara) yang demikian luas. Data ini bersumber dari observasi saya atas buku lama Prof. Mr. Muhamad Yamin, Atlas Sejarah, edisi tahun 1956. Buku ini adalah publikasi awal yang berupaya meyakinkan bahwa Nusantara adalah sebuah kawasan (kepulauan) tua yang mempunyai bentangan sejarah yang panjang. Buku Atlas Sejarah ini berhasil mengurai Nusantara hingga ke periode Sriwijaya (San-Fo-Tsi, 929-1235 masehi) dan pengaruh Singasari pada periode Kartanegara (1254-1292). Pada abad ke-13, dalam Atlas ini diperlihatkan pulau Sulawesi masih relatif “kosong”. Wilayah yang disebut di Sulawesi barulah dua lokasi, yakni Bantajan (Bantaeng) dan Salaya (Selayar) di bagian selatan Sulawesi.

Adalah Jan M. Pluvier, setelah bertahun-tahun bekerja akhirnya berhasil membuat sebuah buku besar, Historical Atlas of Southeast Asia (Brill, 1995). Tampak jelas di halaman awal Atlas Pluvier ini secara rinci mewarnai Nusantara dan pada wilayah pesisir Gorontalo di Teluk Tomini digambarkan sebagai wilayah pengaruh Majapahit sebagaimana pernah ditulis Prapanca (1350) dalam karya klasiknya, Nagarakartagama. Sebelum itu, pada masa di mana tulisan belum dikenal di Nusantara, sumber-sumber Asia telah menempatkan Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi dalam pengaruh budaya China “Don Son”. Dalam soal migrasi penduduk, seluruh pulau Sulawesi, dan umumnya wilayah Melayu, diklaim termasuk lingkaran “migrasi Austronesia” (hal. 2).

Pada abad ke-14, Atlas Sejarah oleh Muhammad Yamin tampak memberi bukti dan klaim yang lebih terang dan sejalan dengan penjelasan Jan M. Pluvier tahun 1995. Ketika menelisik kehadiran Nusantara lama, pada periode Prapanca tahun 1365, pada bagian pulau Sulawesi, kita sudah bisa menemukan beberapa titik wilayah yang penting pada masa itu. Sangat jelas ditunjukkan tentang kehadiran Gorontalo, Banggai, Luwuk, Bantajan, Salaya dan Butun. Sementara wilayah ‘tua’ lain yang sekian lama kita kenal seperti Luwuk, Makassar dan Bone, belum tampak pada masa Prapanca tersebut (hal. 13, Atlas Sejarah, 1956).

Selanjutnya, kita melangkah ke abad ke-16 Sulawesi. Pada halaman 16-17 Atlas Pluvier menampilkan sebuah garis melingkar yang menarik kita telusuri lebih jauh. Meskipun disebutkan bahwa proses Islamisasi di kawasan nusantara bagian utara berlangsung intensif karena adanya “rute perdagangan Asia Tenggara”, tapi untuk Gorontalo secara khusus tampak jelas terlihat posisinya berada dalam suatu kawasan persinggungan antara dua jalur perdagangan maritim yang besar di masa itu, yakni pertama, dari jalur Makassar (periode 1600 masehi) sebagai pusat ekonomi maritim di bagian utara Sulawesi; dan jalur kedua, melalui Ternate yang jauh sebelumnya sudah memiliki persinggungan dengan jalur Brunai (periode 1500 masehi) di jalur utara. Lebih lanjut, dalam Atlas Sejarah M. Yamin, diperkuat pula mengenai jalur pesisir selatan, ketika pengaruh Gowa dan Tidore ikut memberi pengaruh yang penting bagi Islamisasi Gorontalo (hal.14, Atlas M. Yamin, 1956).

Sepintas, dengan merujuk beberapa potongan data di atas, cukup jelas bahwa teritorialitas Gorontalo memiliki legitimasi hebat. Ini sudah terpatok jauh ke belakang. Pergolakan beberapa abad nusantara sudah menempatkan Gorontalo dalam titik ordinatnya yang unik. Tentu, ini menuntut penjelasan lebih jauh mengenai dampak-dampaknya di kemudian hari. Sayang sekali, produksi pengetahuan kita belum sepenuhnya beranjak jauh. Dampaknya, jejak (kemajuan) kita di masa kini sepertinya kehilangan daya pacu-nya menggerakan pilihan-pilihan masa depan yang proresif, dengan sadar dan awas. (*** )

Leave a Comment