Kapasitas Diri
Gorontalo, fip.ung.ac.id – Kapasitas memiliki arti dan pengertian, sebagai daya tampung, daya serap, kemampuan atau boleh juga dimaknai sebagai kewenangan dalam konteks jabatan untuk menunaikan tugas-tugas tertentu. Istilah kapasitas dengan begitu, tidak hanya berbicara tentang “kuantitas” tapi juga sangat terkait erat dengan “kualitas” diri seseorang.
Kapasitas dalam konteks kuantitas, berarti berbicara tentang jumlah, volume atau daya tampung dan daya muat yang berhubungan erat dengan ruang serta kebendaan. Sementara kapasitas dalam konteks kualitas, memiliki korelasi dengan performance diri seseorang, berupa kemampuan, kompetensi, keterampilan dan kecerdasan dalam menyikapi atau menangani suatu persoalan yang dihadapinya.
Bahkan lebih dari itu, istilah kapasitas, berarti bersinggungan dengan kesadaran diri seseorang dalam memaknai dan menghayati kedudukannya secara ideal, sehingga ia mampu menempatkan dirinya secara utuh dan meyakinkan sesuai dengan kedudukannya itu
Sebagai contoh, seorang guru misalnya, diyakini memiliki kapasitas atau kemampuan dalam menunaikan tugas dan rutinitas dalam proses belajar-mengajar, memiliki kapasitas untuk tampil sebagai pendidik yang menguasai betul tentang seluk-beluk dunia pendidikan, seperti metode mengajar, konsep pembelajaran dan kompetensi lainnya yang berhubungan dengan dunia pendidikan.
Seorang guru harus mampu menunaikan tugas itu dengan baik, karena dari kapasitasnya itulah, ia diangkat dan didaulat sebagai seorang guru. Seorang karyawan, seorang pegawai negeri, seorang manajer dan berbagai profesi atau pekerjaan lainnya yang diemban oleh seseorang, kesemuanya itu dapat dimaknai sebagai suatu penghargaan, amanat dan kepercayaan terhadap kapasitas seseorang yang sejatinya harus dirawat dan dijaga.
Bagaimana menjaganya?, Salah satunya adalah terus belajar untuk mengembangkan kapasitas diri secara utuh dan sungguh-sungguh, terutama belajar dalam meningkatkan kemampuan dalam menempatkan diri sesuai dengan kedudukan dan pekerjaan yang disandangnya itu.
Semangat belajar dalam konteks ini, paling tidak dapat diaktualisasikan melalui beberapa cara, yakni ; Pertama, banyak membaca, baik membaca yang “tersurat” maupun membaca yang ‘tersirat”. Membaca yang tersurat, berarti belajar tentang kaidah, norma, metode dan ketentuan-ketentuan normatif yang sesuai dengan tugas, profesi dan pekerjaan yang diemban.
Sementara membaca yang tersirat berarti belajar tentang bagaimana bersikap, berperilaku, bertindak dan berbicara sesuai dengan fenomena, situasi dan kondisi yang dihadapi. Baik membaca yang tersurat maupun membaca yang tersirat, pada dasarnya mampu melahirkan performance diri yang arif dan bijaksana.
Kedua, Kenal diri, yakni kemampuan untuk mengenal diri secara utuh. Kenal diri dapat menjadi wahana untuk merawat pikiran dan karakter positif, sekaligus mampu mengeliminir energi negatif. Dengan mengenal diri, seseorang juga mampu belajar untuk menempatkan dirinya sesuai kapasitas atau bahkan profesi dan pekerjaan yang disandangnya.
Lebih jauh lagi, mengenal kapasitas diri mampu mengorbitkan performance kehidupan yang harmoni dengan siapapun, dengan atasan, bawahan, mitra kerja, dengan sahabat dan dengan keluarga serta tetangga sekalipun. Artinya, jika kapasitas diartikan sebagai “daya serap” dan daya tampung, maka kepekaan untuk menyerap berbagai fenomena yang menggejala dalam kehidupan sekitar, menjadi sangat penting untuk bersikap dan berupaya “memahami” bukan selalu ingin “dipahami”.
Dalam tataran realitas, berbagai fenomena yang dihadapi dalam kehidupan ini, terkadang membutuhkan penalaran yang bersandar pada hati nurani. Berusaha untuk memahami dan mengerti sesuatu, jauh lebih elegan dan terhormat dibandingkan dengan sikap ingin selalu dipahami dan ingin dimengerti.
Mengenal kapasitas diri dengan demikian, mampu mengorbitkan kesadaran untuk selalu mawas diri, dengan berusaha semaksimal mungkin menjalankan tugas, pekerjaan dan tanggung jawabnya sesuai dengan kapasitas tugas dan tanggung jawabnya.. Itulah yang disebut “tahu menempatkan diri secara utuh”. Paling tidak, dengan kemampuan mengenal kapasitas diri dan tahu menempatkan diri, maka semangat untuk terus belajar serta meningkatkan performance diri akan terus tumbuh dan berkembang dengan mekarnya.
Biasanya, seseorang yang tidak mampu mengembangkan kapasitas dirinya akan cenderung mengumpat dirinya sendiri, mengkambing-hitamkan orang lain dan lingkungannya, cenderung mengeluh dan berkeluh-kesah, bahkan terkadang menjadi kebablasan sehingga tidak mampu menempatkan dirinya secara elegan sesuai tugas pokok atau tupoksinya.
Kesimpulannya adalah, mengenal kapasitas diri,, kemudian mengembangkannya ke dalam ranah aktualitatif adalah sebuah keniscayaan. Dalam hidup ini, kita memang memiliki kebebasan, namun kebebasan yang kita miliki tidaklah mutlak, karena ada kaidah dan norma yang mengikatnya.
Kita bebas untuk ingin menjadi apa saja, ingin menjadi guru, bercita-cita menjadi orang sukses, menjadi manajer dan menjadi apa saja, namun yang terpenting adalah belajar mengembangkan kapasitas diri, bukan malah sebaliknya, “buruk rupa cermin dipecahkan”, bukan mengeluhkan keadaan, justru harus terus belajar menghadapi keadaan sesuai kapasitas pekerjaan yang diemban.
Menjadi apa saja itu mudah, yang tidak mudah itu, adalah sejauhmana kapasitas diri untuk meraih cita-cita, obsesi dan keinginan itu secara elegan, terhormat dan bermartabat. Belajar mengembangkan kapasitas diri, bukan sekadar kepentingan diri sendiri, justru sebaliknya untuk menciptakan harmoni hubungan dan interaksi secara vertikal dan horisontal, baik dengan Sang Maha Pencipta maupun dengan sesama ciptaan.
Mengeluh, berkeluh-kesah, mengumpat bahkan mengkambing-hitamkan situasi, keadaan dan orang lain, hanyalah mengukuhkan eksistensi anda sebagai orang yang gagal belajar mengembangkan kapasitas diri anda, bahkan gagal dalam menempuh pembelajaran di universitas kehidupan. Selamat merenung dan berbenah. (***)