Persatuan Bangsa Merdeka
Gorontalo, fip.ung.ac.id – Negeri kita bukanlah sesuatu yang sekali jadi. Indonesia adalah sebuah bangsa yang masih kita “bentuk” bersama (in making), tanpa henti dan tanpa lelah. Yang berhasil kita capai adalah fondasi moral dan visi (bersama) sebagai bangsa, dalam hal bertanah-air, berbangsa dan berbahasa. Meski demikian, tujuan bersama menjadi bangsa yang bersatu, adil, dan makmur bukanlah perkara mudah. Hingga kini, satu di antara masalah serius kita adalah ketidakadilan dan kebersamaan dalam kemakmuran.
Persatuan bangsa, dalam banyak hal, sebagaimana pernah diingatkan oleh Bung Hatta seringkali kita ciderai sedemikian rupa, sehingga yang tampak adalah per”sate”an. Artinya, “kelihatan bersatu tapi satu-sama lain saling ‘tertusuk’ atau ‘menusuk’. Peringatan Bung Hatta ini bisa diterjemahkan di banyak arena kehidupan, di medan ekonomi dan budaya terutama. Fakta menunjukkan, “kesenjangan” di dalam masyarakat kita masih menganga. Jurang antara mereka yang hidupnya makmur dan mapan, serta mereka yang terlempar di pinggiran masih besar.
Dalam dua dekade terakhir, masalah negeri kita sudah berubah menjadi “4-K” (kemiskinan, korupsi, keragaman, dan keadilan). Secara khusus, wajah pluralisme (keragaman) di negeri ini mengalami guncangan yang hebat. Tidak heran kalau masyarakat kita cukup mudah disulut oleh isu-isu etnis dan agama, seperti terjadi di awal periode Reformasi. Hingga kini, kata-kata “asli” dan “pendatang” makin sejajar penggunaannya dengan kata-kata “kita” dan “mereka”. Beragam ikatan penanda (identifikasi) dan pengelompokan (kepentingan) makin merasuk dalam percakapan keseharian di masyarakat. Pemicunya pun banyak. Dan ini terjadi di banyak arena dan tempat. Diam-diam, banyak di antara kita yang belum “tuntas” dan sulit untuk “tulus” ber-Indonesia.
Tentu bukanlah perkara mudah untuk menghilangkan ikatan-ikatan identitas. Selain hal ini dipandang tidak perlu, cara-cara yang “menyamakan” identitas bagi semua warga bangsa juga merupakan urusan yang tampaknya sia-sia. Kecuali bagi mereka yang memang terbiasa “mengail di air keruh”, yakni mereka yang dikepung oleh mentalitas kalah dan picik hati. Saat ini, yang kita butuhkan justru bagaimana memperkaya (pemaknaan) “keragaman” sosial itu melalui penguatan basis kebudayaan ber-Indonesia yang lebih segar, adil, damai dan cerdas. Tantangan atas idealitas ini tentulah tidak mudah. Tapi, kita tak bisa mundur dengan prinsip ini. Sekali kita ber-Indonesia maka sejak itu pula terdapat tiga kesadaran yang bersifat mutlak.
Pertama, bahwa Indonesia adalah “karya banyak pihak”. Bisa dikatakan bahwa hampir semua “aliran politik” terlibat dalam membentuk Indonesia. Semua kelompok atau aliran telah mengorbankan semua hal terbaik mereka untuk menegakkan cita-cita terbaik untuk negeri ini. Kedua, Indonesia adalah negeri kaya (sejarah, sumberdaya alam dan jumlah penduduk). Sekian abad terbukti akan kebesaran peradabannya. Tetapi, sebagai negeri bahari yang plural, yang berhasil mencapai tingkat kebudayaannya yang tinggi dari wilayah pesisir dan melalui jaringan dan jalur niaga, Nusantara (baca: “Indonesia lama”), terbukti menjadi “bangsa pemberani”, sejajar dengan bangsa Tiongkok dan India, bahkan jauh sebelum Eropa memasuki era Modern dengan zaman industrialnya.
Ketiga, kita tak bisa pula melupakan bahwa kita adalah negeri yang pernah “dijajah”. Secara material dan politik, kita sudah “merdeka” sejak 17 Agustus 1945. Meski demikian, sejarah bangsa-bangsa yang lain terus berjalan dengan kecepatannya masing-masing dan kita adalah bangsa yang juga tengah menentukan jalan sejarah kita. Di sinilah beragam tendensi dan turbulensi terjadi, dan negeri kita pun tak bisa lepas dari pengaruh banyaknya “belokan perjalanan” sejarah bangsa-bangsa di dunia. Sebagai negeri yang pernah dijajah, oleh Belanda terutama, kita akui atau tidak, terdapat persoalan yang masih serius hingga kini, yakni dalam persoalan “mentalitas”.
Urusan ini cukup rumit karena di awal abad 20 kita adalah bangsa yang sangat terpuruk karena penjajahan, sementara struktur masyarakatnya yang sangat feodalistik-agraris. Landasan ketergantungan masyarakat kita kepada “patron” (mulai) terbentuk di sini, baik dalam arti antara massa dan elite-nya, maupun antara tuan tanah dan kelompok pekerjanya. Lama kelamaan, negara (pasca kolonial) bernama Indonesia ini semakin modern, dengan ciri (kekuasaan) negara yang sangat dominan, hal mana semakin “menebalkan” ketergantungan masyarakat kepada kalangan atas (birokrasi, elite militer dan pemilik modal).
Kreativitas dan daya juang masyarakat kita dalam ber-nalar dan meng-organisasi-kan diri nyaris lumpuh untuk waktu yang cukup panjang. Semuanya di-patron oleh negara melalui ideologi “pembangunan”nya. Dalam jangka pendek, ini tidak terlalu salah, tetapi karena transformasi sosialnya berlangsung “tertutup” di masa Orde Baru, maka kemandirian masyarakat kita dalam mengorganisasi kekuatan ekonomi dan kreativitasnya menjadi sangat lambat dan homogen. Tanpa bermaksud menyesali sejarah bangsa kita, harus dikatakan bahwa Indonesia belum pernah mengalami “masa pencerahan” yang benar-benar mendobrak kebekuan budaya dan reformasi tata-kelola kekuasaan. Untuk perubahan politik dalam arti perombakan (kekuasaan) yang elitis, kita memang beberapa kali mencapainya. Tapi, gerakan yang berhasil merombak “mentalitas” bangsa, nyaris masih ketinggalan di belakang.
Keadaan kita sehari-hari masih sangat terasa bahwa bangsa kita belum mempunyai “rasa bangga” dan “martabat” yang hebat ketika kita perhadapkan dengan bangsa-bangsa (besar) lainnya. Tak heran kalau kita masih terlalu sering “memuji” bangsa-bangsa lain dalam perkara etos kerja dan mentalitas keseharian (pendidikan, perilaku bersih, kekuasaan yang cerdas, pelayanan dan fasilitas publik, kepemihakan kepada mereka yang miskin, etika jabatan, konflik kepentingan, dst).
Bulan Agustus hendaknya dijadikan “Bulan Revolusi” dalam arti perubahan besar dalam tabiat-tabiat bangsa kita. Negeri ini harus “bercermin” dengan sungguh-sungguh, di semua lini dan arena kehidupan. Kita sudah cukup lama ber-basa-basi (sejarah) sebagai “bangsa besar”. Padahal, kesenjangan dan kemiskinan belum juga menggerakkan emosi kebangsaan kita untuk berubah. Urusan politik dan pengaturan jabat-menjabat di sektor publik demikian rentan gaduh, sementara gebrakan yang berbasis gagasan fundamental dan debat yang serius tak pernah muncul di daerah-daerah. Elite kita memang ramai di baliho tapi tak pernah pasang-badan dalam urusan got macet, taman kota yang kotor, warga miskin yang hendak kuliah dan saudara-saudara kita yang meminta-minta di jalan raya. Inikah negeri yang paradoks? Mari kita diskusikan selama Agustus 2022. (***)