Belajar Merdeka
Gorontalo, fip.ung.ac.id – Untuk disebut merdeka, sebuah bangsa membutuhkan nalar dan nurani. Jika kedua hal ini ditempa oleh sejarah, pengorbanan, konsistensi kerja, dan cita-cita kokoh, maka berubahlah ia menjadi ‘karakter’, bahkan wujudnya bisa berupa “ideologi merdeka”. Tapi, di manakah tempat belajar agar kepekaan nalar dan nurani (merdeka) terbangun?
Bagi bangsa merdeka, apa gunanya nalar dan nurani itu? Jawaban tegasnya: agar bangsa itu tidak mudah ditipu oleh (perubahan) keadaan dan manusia-manusia pecundang di sekitarnya. Dengan itu juga, agar bangsa itu (selalu) terbantu melihat bagaimana konsistensi jalan-jalan perbaikan yang sering dipidatokan atau dikampanyekan oleh para penguasa dan elite-nya.
Negeri kita saat ini sepertinya tengah dikepung oleh parade “bahasa tinggi” oleh mereka yang merasa “orang penting”. Kemampuan kita melihat sesuatu secara utuh masih harus ditempa dengan kesungguhan. Tabiat kita adalah “menyicil” setiap upaya menjawab permasalahan kemudian “memecahnya” ke dalam tindakan dan pikiran yang terpisah-pisah. Bahkan dengan sengaja kita cenderung menghindari sesuatu yang kompleks. Tapi karena sistem di berbagai tingkatan belum sepenuhnya menjadi “infrastruktur yang memaksa” pada setiap tata-kelola organisasi (kerja) di negeri ini maka hasilnya adalah masih bertahannya tabiat-tabiat lama yang lebih mencari aman dengan kepentingan diri-sendiri.
Negeri ini mengalami lingkaran “kemiskinan keteladanan”. Di banyak organisasi, orang-orang yang berdedikasi dan lurus antara kata dan perbuatannya sepertinya masih barang langka. Mereka yang lurus dan benar bahkan setiap saat dilukai dengan kata-kata dan perlakuan. Orang-orang lurus dan teguh pemikirannya sering dianggap sebagai “orang aneh”. Ia sering dihindari dan bahkan kalau bisa dicemooh, “dipukul dari belakang”, disingkirkan, di-stigma, dan ditekan sedemikan rupa dengan tujuan agar ia cepat frustasi, mengalah, lelah, dan akhirnya dimatikan. Dengan begitu, contoh baru tentang keburukan berubah menjadi “rujukan”:
Nasehat konyol lebih banyak dianut: Anda tampil biasa-biasa saja! Terbiasalah berbasa-basi! Anda harus pandai ‘mencari muka’! Jangan berani dengan kebenaran! Ambillah kesempatan dalam kesempitan! Tunduklah kepada kemunafikan agar Anda “selamat”!
Apa hasilnya? Pelan-pelan tapi pasti, keburukan menjadi rujukan. Padahal, sudah sekian tahun istilah Revolusi Mental dikumandangkan, tapi masih terasa kempes gemanya di berbagai tingkatan. Aksi nyata entah kemana. Orang setengah hati dan sepertinya was-was. Padahal, setiap saat mestinya kata pamungkas Revolusi Mental perbaikan bangsa ini diupacarakan. Kata ini juga mestinya mewarnai setiap judul kegiatan kita, bahasa pembukaan acara-acara publik, ritual rapat di kantor-kantor, kegiatan pembelajaran, bahasa jajaran pemerintah dan semua elemen yang komit untuk perbaikan “martabat bangsa”. Belakangan, kata istimewa itu mulai hilang baunya.
Mentalitas adalah tantangan terbesar negeri ini. Tentu tak bisa dipukul rata, tapi fakta umumnya adalah bangsa kita belum berdaya saing. Kualitas pekerjaan kita di berbagai bidang selalu kalah dengan bangsa-bangsa lain. Padahal, mutu manusia Indonesia tidak kalah pada tingkat mikro dan pada segmen-segmen tertentu. Masalahnya terletak pada tata-kelola, kepemihakan, gagasan dan nilai yang membumi, serta etos kerja yang benar-benar tertanam dalam kerja-kerja keseharian kita. Energi bersama kita sering terbuang begitu saja dengan sia-sia karena mentalitas jangka pendek terlalu mendikte nalar dan laku kita. Setiap kali muncul masalah besar atau pun kesempatan besar, penyikapan kita cenderung alakadar-nya.
Sayang sekali karena mekanisme (kekuasaan) yang ada selama ini masih menampilkan dominannya pola “permainan”. Kebenaran substansi dan tujuan luhur dari tata-kelola kekuasaan dan keteladanan tampaknya makin mudah dikalahkan. Budaya “bermuka dua” makin laku di masyarakat. Demikian pula dengan kinerja pemimpin kita sepertinya biasa-biasa saja: pemain berganti, permainan tak banyak berubah!
Ritual ‘pergantian pemain’ lebih banyak muncul di permukaan. Soal isi, aksi dan imajinasi, biarlah berjalan seadanya. Di lapangan lain, guncangan moral di masyarakat belum otomatis mendorong suatu kemurkaan kolektif. Keadilan kemudian dipertanyakan setiap saat. Dalam ketidakpastian seperti itu, saya teringat cuplikan sebuah dialog dalam novel “Pengemis” Naguib Mahfouz (1986): “…kita tidak banyak berubah sebanyak perkembangan yang terjadi”.
Suara dari bawah tidak perlu diwakili sepenuhnya. Yang kita butuhkan adalan ruang yang lebih banyak untuk saling bicara dan mendengar satu-sama lain, tanpa prasangka, tanpa klaim pengetahuan dan pemenggalan hak-hak. Faktanya, kita amat sering bosan dengan “suara dari bawah”. Kita mudah merasa sudah (sangat) tahu apa yang terjadi melalui jalur “politik representasi”, apa pun itu ukurannya. Kita menyikapi setiap keluhan dengan jawaban, tanpa peduli tentang kebohongan yang berulang-ulang dilakukan. Dan tanpa peduli tentang “resiko” yang melilit orang-orang di pinggiran. Mereka menjadi korban karena jeritan hidup mereka tak pernah bisa dipahami oleh tabel-tabel statistik, demikian juga dengan bahasa mereka yang tak pernah nyaman dengan teori di buku-buku dan jargon manajemen di organisasi-organisasi.
Kini kita membutuhkan “bahasa bersama”, sebuah bahasa yang menempatkan semua kosa kata tidak terpisah dari keadaan manusia, yakni tentang nasib, harapan, dan hak-hak untuk makmur. Lihatlah, di beberapa tempat, kaum muda kita melemah kapasitasnya. Bisa dibayangkan kalau kalangan muda kita makin terperosok dalam kubangan kebiasaan yang membenarkan “kedangkalan” dalam bekerja dan bernalar. Dari sinilah benih-benih jalan pintas dan ketidakjujuran, lemahnya watak dan persistensi kerja, rendahnya tanggung jawab dan etos mencipta. Dalam hitungan 10-15 tahun, bangsa kita akan menampung “tenaga kerja” yang lemah daya saingnya. Karena mereka membangun pengalaman masa mudanya dengan tradisi “serba cepat dan mudah”.
Lingkungan pembelajaran dan kehidupan seharian yang serba on line nyaris tidak memberi ruang yang cukup untuk “menata” nalar yang lebih utuh-terpola, terhayati dan melintasi cakrawala (pengalaman) dan pemikiran yang lebih luas. Dampaknya mulai kelihatan. Bahkan di tingkat universitas, dengan segala hormat dan cinta, saya harus katakan bahwa “mahasiswa” kita mengalami krisis dalam menuliskan pikiran-pikirannya dengan solid, serta mengalami fakta-fakta lapangan secara cermat. Perangai meng-copy tanpa sikap kritis dan selektif dengan sumber-sumber pengatahuan makin meluas. Kita belum merdeka belajar! Kita (belum) tuntas “belajar merdeka”…untuk bisa merdeka, tak ada jalan pintas.
Di negara-negara yang maju, justru masa kehidupan orang-orang mudanya amatlah bergegas dengan cita-cita tinggi yang ekspansif, bukan yang defensif. Mereka amat biasa terkaget-kaget dengan kreativitas orang mudanya. Mereka dilatih untuk “meledakkan” pikiran-pikiran yang hebat dan mimpi-mimpi yang melintasi teritori yang lebih luas. Mereka ditempa untuk terbiasa mengajukan pertanyaan, menguji pernyataan dengan nalar cermat dan selanjutnya mempertanyakan sesuatu dengan mendalam.
Dasar dari semua etos bernalar dan pencarian itu adalah “keraguan” positif atas keberadaan semua hal di lingkungan sekitar, termasuk bagaimana menghadirkan masa lalu dan pilihan masa depan menjadi sesuatu yang hadir dan tak terpisah dari kehidupan sehari-hari. Saya khawatir, kita hanya keasyikan melatih kaum muda dan pelajar-pelajar kita ber-upacara yang herois di bulan Agustus tapi kita abai menempa nalar dan nurani kebangsaan mereka yang progresif di tengah lajunya perubahan dunia di abad ini. (***)