Gorontalo, fip.ung.ac.id – Melalui publikasinya 24 Juni 2022, Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Gorontalo mengabarkan data penting. Daerah ini mempunyai 71,26% penduduk yang menempati kelompok “usia produktif” (usia 15-64 tahun). Sejak 2010, usia produktif terus menampakkan pembesarannya di Gorontalo, bermula dari 64,39%. Sementara klaster usia lainnya –yang cenderung tergantung kepada usia produktif tersebut— ternyata mempunyai tingkat ketergantungan (dependency ratio) rendah. Sederhananya, usia produktif (penduduk) Gorontalo “tidak terbebani” dengan tanggungan besar. Mereka, dalam pengertian yang wajar, mestinya lebih fokus bekerja dan menghasilkan produktivitas yang berdampak jangka panjang untuk mutu hidupnya dan memberi “rembesan” kemakmuran kepada anggota keluarga lainnya.

Di sini, kita harus mampu membaca apa-apa yang sudah digerakkan daerah ini sejak 2010 untuk pembangunan kependudukannya? Masalahnya terletak pada “daya saing” SDM Gorontalo yang masih menempati urutan kedua terbawah (posisi ke-5) di Sulawesi. Ukurannya terlihat pada Indeks Daya Saing Tenaga Kerja Gorontalo (51,74). Bandingkan dengan posisi Sulut 55,7, Sulsel 54,53, Sulteng 54,15 dan Sultra 53,52. Di bawah Gorontalo hanya Sulbar, 51,66. Di sisi ini, Gorontalo harus serius mencermati kebijakan lokal/regionalnya untuk “pemberdayaan angkatan kerja”, “kualitas tenaga kerja” dan “produktivitas dan kompensasi”.

Akumulasi Generasi X (1965-1980), G-Milenial (1981-1996), dan Gen-Z (1997-2012) di Gorontalo juga telah dikelompokkan dengan terang analisisnya oleh BPS. Tampaklah bahwa Gen-Milenial (25,46%) dan Gen-Z (30,96%) menempati komposisi yang dominan. Untuk Gen-X, tercatat 21,28% (kisaran usia 40-55 tahun). Seluruhnya menerangkan postur “generasi produktif” yang akan menentukan apakah Bonus Demografi akan memberi loncatan besar bagi progresifitas Gorontalo. Secara kebijakan, di setiap kabupatan/kota di Gorontalo sudah sewajarnya berkaca dan memastikan visi dan aksi besarnya ke masa depan. Gorontalo Utara dengan porsi penduduk terkecil (10,66%) akan menggerakkan apa?

Demikian juga dengan Kab. Gorontalo yang terbesar penduduknya (33,55%). Pohuwato (12,50%) dan Boalemo (12,45%) sebaiknya menentukan “pendekatan tersendiri” karena geografi-kesejarahan dan potensinya relatif bisa “saling-menopang”. Untuk Bone Bolango, dengan komposisi penduduk 13,89% yang beririsan dengan besarnya mobilitas penduduk, perlintasan (arus) modal, wilayah berbatasan, dan “sumberdaya” sudah sewajarnya menentukan pola-pola ekonomi, produktivitas penduduk dan manajemen resiko pembangunannya (tata guna lahan, mutu air, persampahan, keamanan, dst) dengan Kota Gorontalo dengan penduduk 16,94% dari total penduduk Gorontalo (1,17 juta orang per September 2020, SP-2020).

Kita harus menyimak dengan baik publikasi Analisis Profil Penduduk Provinsi Gorontalo (Ramadhan, dkk, BPS Gorontalo, 2022). Ini adalah rujukan terbaik/terbaru yang mestinya (mulai) disimak oleh pengambil kebijakan dan stakeholders daerah ini. Data kependudukan adalah “dasar untuk melangkah” jauh. Hanya dengan itulah ukuran-ukuran keadilan dan kemakmuran dirumuskan (akses, sumberdaya, IPM, dst).

Kemiskinan daerah ini tak bergeser jauh, berada di angka 15,42%. Angkanya serius karena itu sama dengan 185,44 ribu orang miskin di Gorontalo per Maret 2022. Menurut BPS “Garis Kemiskinan Provinsi Gorontalo adalah Rp.411.906,-/kapita/bulan dengan komposisi ‘Garis Kemiskinan Makanan’ sebesar Rp.317.319,- (77,04 persen) dan ‘Garis Kemiskinan Bukan Makanan’ sebesar Rp.94.588,- (22,96 persen)”.

Sebenarnya, sejak September 2018, BPS terus mengabarkan bahwa kemiskinan Gorontalo “tidak pernah” bergeser dari angka “15%” setiap tahunnya, hanya komanya saja yang naik-turun, termasuk dalam kondisi Covid-19. Hal lain, faktor “makanan” sebagai aspek yang amat menentukan garis kemiskinan (di) Gorontalo. Tak kurang dari 77,04% karena faktor komoditi makanan. BPS menyebutkan “beras” dan “rokok” sebagai kontributor signifikan! Juga tercatat “16%” karena “komoditi makanan lainnya”. Ini apa maknanya? Kita bisa cermati bagaimana tingkat “kedalaman dan keparahan” kemiskinan di Gorontalo, apalagi karena masih dominan di wilayah perdesaan. Ada apa dengan kebijakan perdesaan kita? Bagaimana leadership perdesaan kita mengerjakan perbaikan?

Ada contoh lain. Kini kita makin sering mendengar dan membaca bahwa tidak kurang tujuh ribu (penyandang) disabilitas di Gorontalo. Tertinggi ke-3 di Indonesia untuk disabilitas anak (5,4%) dan tertinggi ke-6 untuk disabilitas dewasa (27,9%). Data ini disampaikan tak lama setelah Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 oleh Kementerian Kesehatan. Secara nasional, sejak terbitnya UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, pembahasan tema ini terus mengedepan di Gorontalo. Untuk Gorontalo, sebenarnya tanda-tanda serius ini sudah dirilis oleh Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 2015 yang memperlihatkan Gorontalo di peringkat ke-2 penyandang disabilitas nasional (11,71%), posisinya di antara Sulawesi Utara (urutan pertama), Sulawesi Tengah (urutan ketiga) dan Sulawesi Selatan (keempat). Dalam konteks ini, parameter disabilitas yang dipakai adalah “kesulitan fungsional”.

Kondisi lain, belum lama ini kita juga mengetahui bahwa angka stunting belum banyak berubah, Gorontalo masih di angka 29%, sementara target nasional tahun 2024 adalah 14% sampai 2024. Pohuwato, Boalemo, dan Gorut masih di angka 34 dan 29 persen stunting-nya. Hanya Bone Bolango yang terendah, 25,1%. Yang unik, Kota Gorontalo berada di posisi 26,5% dan Kab. Gorontalo 28,3%.

Jika hendak mempercepat kemajuan dan kemakmuran bersama, Gorontalo kita sewajarnya memanfaatkan “statistik” dengan benar, penuh kesungguhan, utuh-mencerdaskan dan jujur-konsisten. “Data Mencerdaskan,” demikian prinsip BPS. Kita bisa memaknainya lebih lanjut, bahwa data yang mencerdaskan adalah data yang mampu menggerakkan perbaikan nalar-kebijakan dan kepemihakan-kemajuan kita. Data adalah “fakta yang dipahami, kondisi yang dimaknai menurut ukuran dan pencermatan tertentu…”, setelah beroleh pengolahan dan pengujian menurut ilmunya yang khas (statistika). Dengan data kita bisa “sedih” dan “marah”, tapi dari data pula kita beroleh peta “gerak” dengan optimis, terukur dan bertanggung jawab.

Data Gorontalo mengepung kita setiap saat. Keingintahuan tentang sesuatu membesar di setiap kelompok masyarakat. Pengambil kebijakan di pemerintahan selalu mau memastikan apakah pembangunan di daerah ini berjalan sesuai rencana dan sudah mencapai luarannya. Melalui rangkaian data pulalah sebuah argumen, keputusan-keputusan, dan simpulan memadai-masuk akal dibangun. Data menguji kepemimpinan!

Data membantu menerangkan siapa-siapa yang “untung” dengan keberadaan (Provinsi) Gorontalo dua puluh tahun terakhir ini dan melalui datalah pula akan terpantulkan siapa-siapa yang “buntung” penghidupan sosial ekonominya sejauh ini. Dengan itu, apakah akan berdampak jauh dan membumi. Semua proses ini membutuhkan data, kendati tak setiap peristiwa akan otomatis menghasilkan “data”. Tak semua orang bisa sepenuhnya mengerti yang mana data, yang mana cerita, yang mana “sirkus kata-kata” dan yang mana sebagai “sampah informasi” pembangunan. Ayo, apa yang sebaiknya kita kerjakan dengan data di atas? Bagaimana membaca “data Gorontalo”? 2022 adalah momentum yang baik untuk bertanya satu-sama lain. Selamat menjelang HUT Kemerdekaan KITA. Jayalah Republik Indonesia. (***)

Penulis adalah Penerima Alumni Award – 2022,

IFP– The Institute of International Education (IIE), New York.

Dosen di Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Gorontalo.

Peneliti di Pusat Analisis Regional (PuSAR) – Indonesia

Surel: basriamin@gmail.com

Leave a Comment