Gorontalo, fip.ung.ac.id – Dalam hidup dan kehidupan ini, setiap orang memiliki potensi yang sama, yakni dianugerahi akal sebagai sumber kekuatan yang juga menjadi instrumen pembeda dengan makhluk lainnya di muka bumi. Dengan potensi akal itu pula, setiap orang sebenarnya memiliki kemampuan dan kapasitas yang sama untuk maju dan berkembang.
Oleh karena itu, setiiap orang sejatinya “menjadj diri sendiri”, bukan menjadi bayang-bayang orang lain, meniru karakter, gaya dan style orang lain, apalagi selalu berlindung dibalik nama besar orang lain. “To bef your self”, jadilah dirimu sendiri” sesuai karakter keaslian dan kemurnian jati dirimu, tidak boleh memaksakan diri yang dapat melemahkan adrenalin rasa percaya diri
Performance orang lain, baik itu prestasi maupun capaian hidup yang diraih orang lain, sejatinya menjadi sumber inspirasi bukan menjadi sumber “infiltrasi” yang memasukan unsur subyektifitas ke dalam diri sendiri, meniru bahkan menyandarkan diri pada orang lain.
Jika ditelaah lebih mendalam, menjadj diri sendiri adalah output atau hasil akhir dari sebuah ikhtiar untuk mengenal diri. Artinya kenal diri, memahami diri adalah pijakan awal untuk melangkah menjadi diri sendiri. Dari upaya mengenal diri sendiri itulah akan tercetus konsep diri. Itulah sebabnya, ada ungkapan yang mengatakan ; “Siapa yang mengenal dirinya maka dia akan mengenal Tuhannya”.
Dalam teori tentang kepribadian, mengenal diri atau memahami diri dengan bertanya tentang “siapa aku?”,tidak hanya penting untuk mengevaluasi diri, tapi juga dapat merangsang alam sadar tentang hakekat dirinya yang sesungguhnya.Dari sinilah kemudian, seseorang akan tampil lebih luwes dan elegan dalam berinteraksi secara harmoni dengan dirinya, dengan orang lain dan alam sekitarnya
Salah satu dimensi yang menjadi rujukan adalah kesadaran, bahwa setiap orang memiliki potensi yang sama, bahkan sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan. Kekurangan diri sangat penting untuk diketahui, guna merangsang dan membangkitkan kelebihan-kelebihan pada diri sehingga secara individual ia akan tampil berimbang dan harmoni. Kekurangan diri bukan untuk ditakuti dan menjadikan seseorang tampil tidak percaya diri, tapi justru sebaliknya menelaah dan mengembangkan kelebihan diri sehingga kekurangan diri itu terkompensaskan bahkan tidak nampak.
Tidak heran, jika dalam perspektif agama, setiap orang diajarkan untuk menuntut ilmu, terus belajar sebagaimana yang diisyaratkan dalam Al Qur’an, di mana ayat pertama yang turun adalah, “Iqra, Iqra, Iqrabismirabbikaladzi khalak”, bacalah, bacalah, bacalah dengan nama Sang Maha Pencipta. Membaca berarti belajar di Universitas kehidupan, belajar dari pengalaman diri sendiri dan orang lain. Dengan belajar, maka konsep diri mulai terkuak ke dalam ranah kearifan yang mumpuni.
Apalagi dalam konteks lokal Gorontalo, terdapat begitu banyak ruang dan dimensi yang dapat dijadikan sebagai sumber belajar dan rujukan untuk menempa diri dengan nilai-nilai tentang bagaimana menjadi diri sendiri.
Dalam tataran masyarakat Gorontalo misalnya, terdapat istilah, “Motota Lo batanga” dan “Motota Lo tawu” akan menjadi modal dasar dalam setiap gerak-gerik atau O’oliyo’o maupun dalam membawa diri “To Dudelo”, baik dalam motolongala’a atau berkeluarga, motolotawu (pergaulan dengan orang lain) “motolotihedu'(bertetangga) maupun dalam “motonggolipu” (berbangsa dan bernegara).
Dengan demikian, maka menjadi diri sendiri dapat dimaknai, sebagai suatu ikhtiar untuk memperbaiki performance diri atau kualitas diri agar kokoh berdiri di atas kaki sendiri, tanpa bayang,-bayang nama besar orang tua maupun berlindung dibalik keberhasilan orang tua, keluarga atau orang lain.
Hal itu sangat penting, bukan saja untuk kepentingan dan masa depan diri sendiri, tapi juga sebagai bentuk penghargaan dan ungkapan rasa syukur atas karunia Sang Maha Pencipta yang telah menganugerahkan akal dan fisik yang sehat. Hal ini sekligus menjadi catatan penting bagi siapapun untuk “modelo hilawo” sehingga secara terus-menerus belajar meningkatkan kualitas dan kapasitas dirinya secara komprehensif.
Lagi pula, semangat untuk “modelo hilawo” dengan terus belajar meningkatkan kapasitas diri, merupakan bagian dari upaya untuk menghindarkan diri dari sikap “mohihiya”, (iri hati) atau “mohihita (bersaing) yang pada akhirnya dapat memunculkan ketersingungan dan ketidakharmonisan hubungan dengan orang lain.
Bagaimanapun juga, menjadi diri sendiri, bukan saja menjadi sebuah tuntutan, tapi juga menjadi tuntunan bagi seseorang agar tetap percaya diri dalam bekerja dan berkiprah guna melahirkan ide,gagasan dan terobosan-terobosan penting bagi Gorontalo tercinta.p
Gorontalo ke depan membutuhkan deretan-deretan individu yang berkualitas, yakni generasi yang memiliki kualitas hidup, iman dan takwa. Kualitas dengan 3 dimensi hidup yang ideal itu, merupakan 3 pilar peradaban yang mampu menopang konstruksi peradaban Gorontalo di masa mendatang.
Upaya untuk terus belajar tentang berbagai hal demi meningkatkan kapasitas diri sehingga menjadi diri sendiri, merupakan refleksi kesadaran yang hakiki, bahwa suatu pencapaian hidup, baik itu prestasi, kesuksesan dan sebagainya, tidak dapat diraih secara “instan”, melainkan hanya dapat digapai melalui sebuah proses belajar dan perjuangan yang panjang serta melelahkan.
Artinya, Gorontalo ke depan membutuhkan generasi yang bermental baja yang tidak pernah berhenti untuk terus-menerus belajar menjadi diri sendiri, bukan generasi “karbitan” yang “masak” hanya karena rekayasa sosial, tapi generasi yang kokoh berdiri di atas kaki sendiri sehingga mampu tampil secara maksimal melalui kemampuan dan kapasitas dirinya sendiri. Selamat Belajar. (***)
Penulis adalah Ketua TP-PKK Kabupaten Gorontalo,
Ketua PGRI Kabupaten Gorontalo,
Ketua ICMI Kabupaten Gorontalo,
Guru Besar Tetap Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Gorontalo.
Surel: forynawai@ung.ac.id