Gorontalo, fip.ung.ac.id – Istilah Zalim yang dalam Bahasa Arab ditulis “Dzholim” dalam ajaran Islam adalah meletakkan sesuatu atau perkara bukan pada tempatnya. Orang yang berbuat zalim disebut zalimin atau orang yang sebenarnya menganiaya dirinya sendiri.
Hal itu merujuk pada asal-muasal istilah ini yang secara etimologi yang berasal dari bahasa Arab, dengan huruf “dzho lam mim” yang berarti gelap atau tidak memancarkan nur atau cahaya.
Di dalam al-Qur’an kata zalim menggunakan istilah “zhulm” yang memiliki makna yang sama dengan kata “baghyu”, yang artinya melanggar hak orang lain. Dengan begitu, jika merujuk pada istilah “yang darimu adalah milikmu”, maka sikap, tindakan dan perbuatan sewenang-wenang untuk menindas atau melukai harkat dan martabat orang lain, secara langsung atau tidak langsung berarti menganiaya diri sendiri. Artinya, karena sikap dan tindakan itu berasal “dari dirimu” maka sekali waktu dia akan kembali kepada dirimu”.
Hal itu selaras dengan ungkapan yang mengatakan “siapa yang menanam, maka dialah yang akan menuai” . Itulah hakekat kehidupan ini yang seakan menjadi sumber pembelajaran berharga. Fenomena alam yang menggejala dalam kehidupan ini, sebenarnya merupakan “Universitas kehidupan” yang menjadi guru dan sumber belajar yang berharga.
Orang yang telah lulus dan mendapatkan ijazah dari Universitas Kehidupan akan tampil lebih arif dan bijaksana. Baginya dunia adalah tempat untuk “menanam” kebajikan” untuk dipetik di alam kehidupan lain yang telah dijanjikan. Godaan, ambisi, dendam dan iri hati, sama sekali bukan menjadj “pakaian” bagi orang yang sudah tamat dari Universitas Kehidupan.
Dalam konteks ini,, sifat zalim atau dzholim yang selalu berpikir dan bertindak negatif, menjegal orang lain, menaruh kebencian kepada orang lain atau menyakiti orang lain,.diibaratkan seperti tengah “menanam” keburukan yang kelak akan dituai jua. Itulah sebabnya, orang bijak berpesan “Jadilah terang tanpa memadamkan cahaya orang lain, naiklah di ketinggian tanpa menjatuhkan orang lain, capailah bahagia tanpa melukai hati orang lain, dan paling penting jadilah orang baik tanpa menistakan atau memburukkan orang lain”.
Sebenarnya, begitu banyak untaian kata indah untuk menggugah nurani setiap orang agar tanaman “kemudharatan” tidak tumbuh dan bersemai dalam hidup dan kehidupan ini. Hanya saja, merangkai kata untuk “mengingatkan” merupakan sebuah kewajiban setiap ummat sebagai “khairuh ummah” yang senantiasa berseru pada kebaikan atau beramar ma’ruf nahyi munkar.
Dalam realitas kehidupan di manapun, mentalitas “tutuhiya”, karlota dan “susupo” merupakan fenomena yang menggejala dan paling banyak menjadi pemicu munculnya gesekan-gesekan di tengah masyarakat yang menjadikan hubungan silaturahmi menjadi renggang diantara sesama tetangga, sesama sahabat dan kerabat.
Saling sikut, saling menjatuhkan dan fenomena lainnya yang menjurus pada tindakan destruktif yang menjadi fenomena di negeri ini,.menjadi sebuah isyarat, betapa penghayatan terhadap nilai-nilai agama dan kemanusiaan tengah mengelami keterpurukan yang hanya bisa dieliminir melalui kesadaran untuk kembali pada hakekat kehidupan yang sesungguhnya.
Di sisi lain, fenomena yang terus menjelma dan seakan menjadi tontonan dalam panggung sandiwara ini, menjadi instrumen pembelajaran berharga bagi warga masyarakat, para guru dan pendidik di manapun, bahwa pendidikan agama dan upaya menanamkan nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan keluarga dan di sekolah-sekolah menjadi sangat penting, tidak hanya sekadar menjadi tuntutan tapi juga menjadi bagian dari tuntunan dalam meniti kehidupan yang ideal.
Sesungguhnya resistensi kemajuan suatu bangsa dan daerah sangat bergantung pada karakter dan mentalitas yang saling menzalimi, saling menjatuhkan dan bersaing secara tidak sehat. Kesadaran bahwa kemajuan hanya dapat dicapai melalu semangat persatuan dan kebersamaan, bukan saling menumpahkan kedengkian dan kebencian.
Terkadang lahirnya sikap dan tindakan destruktif yang seakan merasa “diri sendiri” yang paling suci dan merasa paling benar, dapat menyeret pada perilaku yang selalu menganggap orang lain selalu salah bahkan bejat. Padahal, ketika orang lain salah dan bejat, apakah anda suci dan bersih? Itulah pentingnya bermuhasabah, merenunv dan melakukan intropeksi sebagai jalan ideal menuju kesejatian sikap yang humanis.
Sebagai seorang pendidik, merupakan hal yang lumrah untuk memberikan secercah inspirasil dan referensi kepada.orang tua di rumah dan guru di sekolah untuk lebih menekankan aspek pendidikan karakter dan budi pekerti di kalangan anak-anak sebagai generasi penerus cita-cita bangsa. Pendidikan karakter, tidak hanya melahirkan insan yang senantiasa berkiblat pada akal sehat, tapi juga menggunakan hati nuraninya untuk membumikan kedamaian, memanusiakan manusia bukan malah sebaliknya menjadi “harimau” bagi orang lain.
Salah satu aspek penting yang menjadi rujukan adalah, bahwa hidup sungguh sangat singkat. Menjadi sangat sia-sia jika hidup singkat itu, energi kehidupan hanya tercurahkan untuk berbuat zalim kepada orang lain. “Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain.
Sesungguhnya, berbuat zalim, menganiaya orang lain, menjerumuskan bahkan saling menjatuhkan dengan cara apapun, dengan siapapun dan dengan alasan apapun, pada hakekatnya adalah upaya menganiaya diri sendiri yang tidak diridhai Allah SWT. Yang darimu akan tetap kembali pada dirimu, bukan milik orang lain. (***)