fip.ung.ac.id, Gorontalo – Dalam dunia pemerintahan, baik di tingkat pusat dan di daerah-daerah, istilah sinergi, sinergitas, sinergisitas atau bersinergi dan sinergisme, sudah sangat akrab di tengah masyarakat. Dalam pengertiannya, kata sinergi mengandung arti sebagai kombinasi unsur atau bagian yang dapat menghasilkan keluaran atau output yang lebih baik atau lebih besar.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sinergi berarti kegiatan atau operasi gabungan. Sementara menurut Covey yang dikutip melalui jurnal pembangunan pada student jurnal, mengartikan sinergisitas sebagai: “Kombinasi atau paduan unsur atau bagian yang dapat menghasilkan keluaran lebih baik dan lebih besar daripada dikerjakan sendiri-sendiri.
Dengan asumsi lain, sinergitas merupakan gabungan beberapa unsur akan menghasilkan suatu produk yang lebih unggul. Oleh sebab itu, sinergitas dalam pembangunan, berarti keterpaduan berbagai unsur pembangunan yang dapat menghasilkan keluaran lebih baik dan lebih besar. Atau sinergitas akan mudah terjadi bila komponen-komponen yang ada mampu berpikir sinergi, terjadi kesamaan pandang dan saling menghargai.
Dari pengertian tersebut di atas, sinergi, sinergitas, sinergisme dapat dipandang mengandung nilai sebagai sebuah energi, sumber kekuatan yang mampu memberi ruang ekspektasi yang lebih luas dan konstruktif bagi siapapun dalam menggapai harapan dan cita-cita.
Sinergitas sebenarnya memiliki makna yang sama dengan kerjasama, kolaborasi, gotong-royong, koordinasi, persatuan, soliditas dan masih banyak lagi. Kesemuanya itu, memberikan sebuah isyarat penting, bahwa sebagai “makhluk sosial” manusia tidak dapat melepaskan diri dari kudrat sosialnya yang harus berhubungan dan berinteraksi dengan sesama.
Ungkapan ini sekaligus menjadi bahan renungan kepada kita tentang bangunan etiks bahwa terdapat kaidah-kaidah dan norma yang menjadi pedoman dalam berhubungan dan berinteraksi sosial. Karena sesungguhnya manusia punya perasaan, memiliki rasa dan frasa, nalar, naluri dan nurani kemanusiaan.
Itulah sebabnya, salah satu prasyarat penting dalam hidup ini, adalah merawat pikiran dan akal sehat sebagai pilar membangun konstruksi nilai dan akhlak sebagai rujukan. Artinya sinergitas akan menjadi sebuah energi, jika dibarengi dengan cahaya kebaikan, berpijak pada kebenaran, menjunjung kejujuran, berpihak pada orang banyak dan beradu argumen bukan dengan sentimen. Lebih jauh lagi, bahwa dalam membangun sinergitas, kualitas akhlak, kepribadian dan karakter kemanusiaan menjadi prasyarat mutlak.
Dalam konteks tatanan pemerintahan dan kemasyarakatan, sinergitas tidak hanya dimaknai sebagai ikhtiar untuk bahu-membahu dalam rangka mewujudkan “output” kerja, kinerja dan maslahat yang lebih besar bagi masyarakat, tapi juga menjadi bagian untuk menguji sejauh mana kualitas berpikir, kualitas akhlak dan kualitas kemanusiaan kita sebagai makhluk sosial.
Sifat egoisme, merasa diri paling benar, paling jago atau merasa diri paling pintar, tidak hanya menjadi musuh bersama dalam mewujudkan sinergitas, tapi juga menunjukkan kedangkalan berpikir, kemunduran akhlak bahkan boleh disebut, merupakan sikap pembangkangan terhadap kudrat manusia sebagai makhluk yang berakal.
Dalam konteks lokal Gorontalo, terdapat beberapa aspek yang menjadi sumber motivasi dan spirit dalam membangun sinergitas bagi masa depan Gorontalo yang lebih baik dan demi masyarakat yang lebih sejahtera. Diantaranya, dalam kultur masyarakat Gorontalo, dikenal istilah “mohuyula”, atau gotong royong, kemudian “motiayo” atau mengajak bekerjasama, “moawota” yang artinya bersilaturahmi, “modudula”, “mopotuwawu” yang artinya mempersatukan, modulohupa atau bermusyawarah dan masih banyak lagi istilah lainnya yang mengandung nilai-nilai kearifan yang sejatinya terus dirawat dan diaktualisasikan di tengah masyarakat.
Itu artinya, masyarakat Gorontalo hari ini patut bersyukur, karena para leluhur kita telah mewariskan nilai-nilai berharga dalam membangun tatanan masyarakat yang bersinergi yang harus mengaktualisasikan perannya sebagai makhluk sosial dan sebagai orang Gorontalo.
Itulah salah satu sumber energi atau sumber kekuatan orang Gorontalo untuk maju yang darinya kita dapat mengambil ibrah, betapa sinergitas tidak hanya menjadi sebuah keharusan, tapi juga tuntutan dan tuntunan bagi siapapun. Mentalitas “Tutuhiya” atau saling menjatuhkan, “mohihiya” (iri hati), “mohihita” (bersaing secara tidak sehat), dan “motilengge”sombong atau angkuh), kesemuanya itu, tidak lagi relevan menjadi “pakaian” orang Gorontalo kekinian dan masa mendatang.
Justru yang terpenting untuk terus dirawat dan ditumbuhkan dalam benak setiap orang Gorontalo hari ini dan ke depan, adalah “modelo hilawo” yakni sebuah istilah yang mengandung makna sebagai upaya dan ikhtiar maksimal untuk meraih keberhasilan, prestasi, dedikasi seperti yang digapai oleh orang lain.
Jika teman dekat kita, kerabat dan sahabat meraih sukses, memiliki prestasi, karya dan karsa untuk Gorontalo, maka kita juga harus “modelo hilawo” agat berprestasi, memiliki karya dan karsa untuk Gorontalo, bukan sebaliknya malah menjadi iri-hati, dengki, dendam dan menjatuhkan martabat orang lain itu. Atau paling tidak, kita bersinergi dan berkolaborasi dengan orang lain yang sukses itu.
Saat ini, Gorontalo sudah hidup di zaman keterbukaan. Siapapun kita memiliki potensi dan peluang yang sama untuk maju, berprestasi dan berkarya. “Orang yang senang melihat orang susah dan susah melihat orang senang” dia termasuk jenis manusia purba yang akan tersingkir dengam sendirinya dalam panggung kehidupan yang sementara ini.
Orang bijak dalam nasehatnya pernah berujar bahwa, orang yang berhati busuk itu, ibarat buah busuk di pohonnya. Tidak perlu dijatuhkan, dia akan jatuh dengan sendirinya. (***)