fip.ung.ac.id, Gorontalo – Istilah elegan atau elegant, elegansi dan eleganisme memiliki arti dan makna sebagai keanggunan, rapi, necis, keluwesan  dan keelokan, yang tidak hanya dilihat dan dipandang dari aspek penampilan fisik semata, tapi juga tercermin dari sikap dan perilaku yang membuat orang lain simpatik, senang, adem, sejuk dan tentram. Elegansi dengan begitu, sangat terkait erat dengan seni membawa diri dan menempatkan diri pada proporsi yang sesungguhnya.

Terkadang, ada orang yang secara fisik tampil rapi, necis dan bersih, namun tidak terlihat elegan karena apa yang dikenakkannya tidak selaras dengan situasi dan kondisi yang dihadapinya. Semewah dan semahal apapun pakaian yang dikenakkan, se molek apapun rias wajah ditampilkan, namun salah dalam menempatkan dan membawa diri, maka semua itu tidak lagi nampak elegan. Elegansi dalam konteks ini, sangat terkait erat dengan “seni menempatkan diri”

Selain itu, keelokan, kecantikan dan ketampanan tidak hanya ditentukan oleh pakaian, riasan, aksesoris yang serba mahal dan mewah, tapi ditentukan oleh penampilan dari dalam yang memancarkan inner beauty atau inner handsome. Terkadang dalam pergaulan sehari-hari, ada yang berpenampilan rapi, berpakaian mewah dan mahal tapi tidak memancarkan inner beauty atau inner handsome. Demikian pula sebaliknya, ada yang bepenampilan sederhana, tapi justru ia memancarkan aura yang menarik, membuat orang lain simpatik, terpikat bahkan kagum karenanya, karena ia memancarkan hakekat kecantikan dan ketampanan dari dalam.

Dengan asumsi lain, eleganisme atau elegansi memiliki makna yang sama dengan Inner beauty atau bagi kaum pria Inner handsome, yakni kecantikan, ketampanan dan keelokan, tidak hanya bersumber dari penampilan fisik, pakaian yang mewah nan serasi, tapi kecantikan atau kegantengan dari dalam diri seseorang secara otomatis akan terpancar dengan sendirinya ketika hati atau qalbu  dipenuhi dengan nilai-nilai kebaikan. Artinya, orang yang tidak memiliki itikad yang baik, dipenuhi oleh dendam dan kebencian, ambisi maupun keserakahan, akan tetap memancarkan cahaya yang buram, meski ditutupi dengan cara yang bagaimanapun.

Elegansi juga sangat terkait erat dengan performance berbicara, bertutur dan berkata-kata. Elegansi dalam aspek ini, berbicara tentang kecerdasan untuk merangkai dan menyusun kata-kata yang terurai secara sistematis, runut dan jelas. Elegansi dalam aspek ini juga mengandung muatan keserasian dalam membaca situasi berdasarkan “tema atau tajuk” yang bersifat kondisional.

Dari sini dapat dimaknai, bahwa elegansi berbicara tentang nilai-nilai kebaikan sebagai modal dasar yang paling fundamental. Hal itu sejalan dengan ungkapan “jangan menilai seseorang dari sisi luarnya saja” tapi yang paling penting adalah hatinya, akhlaknya, sikap dan perilakunya. Bagaimanapun, elegansi itu bersumber dari “esensi” bukan “selebrasi” yang terkadang penuh dengan kepalsuan.

Terkadang kualitas hati dan qalbu sangat mudah terbaca dari tatapan mata,  karena orang lain juga memiliki mata batin yang mampu menembus dimensi dan ruang yang paling dalam sekalipun. Oleh karena itu, elegansi udalah ungkapan dan ekspresi sensasi hati. Ketika hati sakit, maka elegansi seseorang akan redup, meski dengan cara bagaimanapun seseorang itu berusaha menutupinya.

Karena elegansi berbcara tentang hati sebagai “Inner” atau pusat, sentral dan intisari, maka benar apa yang disabdakan Nabi Muhamad SAW yang mengatakan “Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung)” (HR. Bukhari No. 52 dan Muslim No. 1599). Terkait hadits di atas, Imam Alghazali selanjutnya membagi hati ke dalam 3 kategori, yakni :

Pertama, hati yang sehat. Yakni hati yang memancarkan cahaya kebaikan, yang teguh dalam keimanan, ahli bersyukur, tidak serakah, khusu dalam beribadah, banyak berdzikir, segera sadar bila melakukan kesalahan (bertobat) dan hidup terasa tentram dan damai.

Kedua, Hati yang sakit. Kategori ini, keimanan masih melekat dalam hati, tetap khusu’ dalam beribadah, namun masih memiliki sebongkah ambisi dan keserakahan sehingga jauh dari ketenangan, mudah marah, tidak pernah puas dengan apa yang dimiliki, susah menghargai orang lain bahkan sulit menempatkan dirinya secara baik dan benar.

Ketiga, Hati yang mati. Hati yang mati adalah hati yang mengeras karena banyaknya kotoran yang melekat, akibat dari dosa dosa hasil dari perbuatanya. Hati yang mati menurut Imam Al Ghazali tidak hanya membahayakan dirinya sendiri, tapi berpotensi membahayakan orang lain. Orang yang hatinya sudah mengeras, biasanya tidak bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk sehingga cenderung merusak norma dan tatanan yang ada. Salah satu ciri hati mati, ialah mereka yang sudah tidak mau menerima nasehat agama, tidak perduli lagi dengan norma bahkan cenderung berkhianat demi ambisi dan keserakahannya.

Oleh karena itu, karena hati adalah pusat atau sentral dan intisari dari sebuah elegansi, maka siapapun dan apapun profesi yang kita geluti, elegansi adalah hal yang mutlak. Karena naluri manusia adalah selalu ingin dihargai, keberadaannya selalu ingin diapresiasi dan siapapun sudah pasti membutuhkan rasa simpatik dari siapapun yang ada di hadapannya. Semua itu bermula dan berawal; dari  performance diri untuk selalu tampil elegan.

Eleganisme adalah bagian dari seni kehidupan yang senandung iramanya terus saja bersahut dan dinamis. Eleganisme adalah sebuah pilihan, bukan sebuah paksaan. Tapi yang jelas elegansime adalah jalan yang mampu mengantarkan  hidup seseorang menjadi lebih baik. Seperti ada ungkapan, “hidup itu indah”.  Yang membuat dunia dan hidup ini  tidak indah, karena hati dan pikiran kita tidak lagi berada dalam ruang dan dimensi yang “esensi” yakni hati dan akal yang sehat. (****)

Leave a Comment