fip.ung.ac.id, Gorontalo – Secara bahasa, eksistensi dapat diterjemahkan sebagai keberadaan, yakni di mana kita berada, itu adalah bagian dari eksistensi. Akan tetapi yang terpenting, bukan eksistensi itu sendiri, melainkan untuk apa kita ada dalam ruang-ruang kehidupan. Itulah sebabnya, dalam pergaulan sehari-hari, sering ada ungkapan, tunjukkan eksistensi dirimu, baik sebagai seorang guru, seorang musisi, pengusaha, sebagai seorang anak atau  eksistensimu sebagai orang tua.

Dengan begitu, eksistensi, bukan sekadar ada, tapi ada sesuatu yang datang menjelma dari diri sesuai dengan fungsi keberadaan seseorang dalam ruang-ruang tertentu. Untuk lebih jelasnya, eksistensi diri merupakan refleksi alam berpikir manusia yang harus berbuat, bertindak dan bersikap secara ideal serta normatif, sesuai dengan fungsi keberadaannya. Jika demikian pemaknaannya, maka eksistensi  diri bersifat elastis, adaptatif dan kondisional. Artinya, eksistensi bisa dimaknai secara lebih luas, namun bisa juga eksistensi dapat dimaknai secara  lebih spesifik sesuai karakteristik yang melekat pada diri seseorang.

Sebagai manusia, maka eksistensi diri lebih luas pemaknaannya,  karena sangat terkait erat dengan hakekat keberadaannya di muka bumi ini. Di sisi yang lain, sebagai seorang yang memiliki profesi, karakter dan kepribadian, maka eksistensi diri diuraikan, digambarkan dan diluksikan secara spesifik sesuai dengan profesi dan pekerjaannya.

Selain itu, eksistensi diri juga sangat terkait erat dengan kesadaran diri untuk terus dan konsisten mengarahkan dan menggunakan akal sehat sebagai mesin yang selalu memproduksi partikel-partikel kebaikan, berada dalam garis nurani kemanusiaan. Oleh karena itu, eksistensi diri tidaklah berdiri sendiri, melainkan terdapat banyak unsur eksternal-internal yang mempengaruhinya.

Karena sesungguhnya, eksistensi diri itu secara keseluruhan mengandung muatan positif, ketika aura dan unsur negatif menjelma dari diri seseorang, maka itu bukanlah eksistensi dirnya, melainkan terdapat unsur eksistensi di luar dirinya yang turut berpengaruh. Oleh karena itu, akal sehat tetap menjadi rujukan, pengendalian diri tetap menjadi perisai dan mawas diri adalah sebuah keharusan.

Karena eksistensi diri mengandung muatan kebaikan, kebenaran dan keadilan, maka akal sehat sejatinya menjadi penuntun, penunjuk arah dan lokomotif yang membawa gerbong nurani kemanusiaan. Itu artinya, segala bentuk kejahatan, keburukan dan angkara murka, sama sekali bukan sebuah eksistensi diri manusia, melainkan semua itu  adalah eksistensi makhluk lain yang tidak berakal.

Seorang guru misalnya, dalam tataran ideal dan normatif, ia tidak hanya sekadar membelajarkan anak didiknya di muka kelas, tapi eksistensi dirinya yang identik dengan sosok yang digugu dan ditiru, identitas profesinya yang mengayomi dan membimbing anak didiknya, itulah yang paling penting diaktualisasikan secara konsisten. Ketika ia selalu membentak, menghina dan mempermalukan anak didiknya di sekolah misalnya, maka eksistensi dirinya sebagai seorang pendidik, seketika redup dan menghilang. Dalam konteks ini, ia telah dikuasai dan dipengaruhi oleh “eksistensi yang lain”

Dalam konteks ini, ketika seseorang memutuskan untuk menjadi “apa saja”, maka itu berarti ia telah masuk ke dalam ruang itu, siap mengikatkan diri pada kesejatian dan kehakekatan, bersikap jujur dan normatif untuk tetap berada pada jalur yang semestinya, melakukan apa saja yang menjadi tuntutan atas pilihannya tersebut.

Dari uraian ini, secara sederhana dapat dimaknai, bahwa setiap orang pada dasarnya berada pada 2 dimensi alam yang bersifat adaptatif. Yakni dimensi “takdir” dan dimensi “pilihan”. Eksistensi diri sebagai manusia, memiliki nama, menyandang status suku tertentu, memiliki warna kulit yang bagaimanapun dan sebagainya, itu adalah dimensi takdir yang bersifat mengikat dan siapapun tidak bisa menghindar darinya. Demikian juga dengan dimensi “pilihan”, menjadi guru, pedagang, petani, pegawai dan apapun, kesemuanya memiliki konskewensi-konsekwensi tentang eksistensi diri.

Secara ideal dan normatif, setiap orang memiliki eksistensi kemanusiaan, berakal, memiliki hati, qalbu dan perasaan. Namun ketika dengan sadar ia melepaskan setiap atribut-atribut kemanusiaan itu, maka seketika itu juga, eksistensi kemanusiaannya hilang. Demikian juga, ketika seseorang memilih menjadi pedagang, pegawai atau memilih profesi apapun, kesemuanya itu memiliki identitas, menyandang kesejatian dalam tataran ideal dan normatif yang bersifat mengikat. Ketika terdapat sikap, perilaku dan tindakan yang tidak mencerminkan sisi ideal dan normatif dari profesi dan pekerjaannya itu, maka eksistensi dirinya dalam ruang pekerjaan dan profesi itu mulai hilang karena ia sering menghadirkan eksistensi yang lain.

Untuk mengaktualisasikan eksitensi diri dengan demikian, terdapat elemen-elemen penting yang menjadi tuntunan dalam rangka memenuhi tuntutan-tuntutan yang mengikat. Yang jelas, bahwa eksistensi diri sangat terkait erat dengan sikap, perilaku, attitude dan karakter kemanusiaan. Akal sehat sesungguhnya tidak hanya menjadi penuntun dan penentu eksistensi diri manusia, tapi juga menjadi sebuah keniscayaan untuk membedakan manusia dengan mahkluk lainnya.

Paling tidak, dalam ruang lingkup yang paling sederhana, setiap kita memiliki ekspektasi yang positif tentang bagaimana menjaga eksistensi diri kita sebagai orang Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang ramah, memiliki kekayaan alam yang melimpah dan bagaimana menunjukkan eksistensi diri kita sebagai orang  Gorontalo yang memegang teguh falsafa adat bersndikan syara’ dan syara’ bersendikan Al-Qur’an. Sekali lagi, eksistensi itu penting, tidak hanya terkait dengan ubudiyah, amaliah dan akhlakiah, tapi juga untuk masa depan sebagai sebuah bangsa yang besar maupun sebagai individu-individu yang bertanggung jawab. Eksistensi adalah sebuah potensi yang memiliki urgensi bagi diri dan kemanusiaan. (***)

Leave a Comment