fip.ung.ac.id, Opini – Dalam pengertiannya, “Salah Kaprah” merupakan suatu kesalahan atau kekeliruan yang terjadi, namun sudah menjadi  kebiasaan yang berlangsung secara terus-menerus tanpa ada usaha untuk memperbaikinya. Bahkan  kesalahan dan kekeliruan sudah dianggap benar dan wajar. Salah Kaprah  dapat dikategorikan ke dalam 2 aspek, yakni salah kaprah dalam penggunaan Bahasa atau istilah dan Salah Kaprah dalam konteks sikap, kepribadian, attitude, etika dan pikiran.

Meski demikian, salah kaprah sebenarnya sangat terkait erat dengan tingkat pemahaman, pengetahuan dan hasrat seseorang. Contoh salah kaprah dari aspek bahasa misalnya, penggunaan istilah yang salah atau tidak tepat dalam penggunaannya tapi sudah dianggap wajar. Contoh yang paling dekat dan sering berseliweran di media sosial adalah kata OTW atau sering ditulis juga dengan “Otewe”. Sebenarnya OTW adalah  singkatan dari “On The Way” yang artinya “Tengah dalam perjalanan”. Tapi begitu banyak yang seakan latah dan terkadang menulis status di Facebook “besok mau OTW” dan sebagainya. Demikian juga dengan istilah “lain kali” yang sudah dianggap benar yang seharusnya “kali lain”, penulisan kata Walikota yang seharusnya Wali Kota dan masih banyak lagi istilah-istilah yang digunakan secara salah kaprah

Selanjutnya, salah kaprah dalam aspek sikap, perilaku, tingkah laku atau kebiasaan-kebiasaan  yang salah tempat, salah orang dan salah dalam membaca situasi dan kondisi tertentu. Akibatnya muncul persepsi yang kurang baik dari orang lain. Sebagai contoh, adalah kebiasaan angkat kaki saat duduk di kursi atau di sofa.  Dalam norma yang berlaku secara umum, angkat kaki adalah sesuatu yang wajar. Namun menjadi salah kaprah, ketika seseorang menganggap angkat kaki dengan menggunakan sepatu, sementara di sampingnya ada seseorang yang lebih tua duduk di dekatnya.

Demikian juga kebiasaan berkumur setelah makan. Dalam norma yang berlaku, berkumur setelah makan, adalah hal yang wajar, namun menjadi salah kaprah, apabila berkumur saat selesai makan bersama dengan orang banyak yang dilakukan saat masih ada orang lain yang makan.

Masih banyak lagi salah kaprah lainnya yang terkait dengan tugas dan pekerjaan, hobi dan lelaku lainnya yang sebenarnya tidak biasa dan tidak bisa dilakukan, namun karena sudah menjadi kebiasaan sehingga dianggap biasa. “Ala bisa karena biasa” demikian ungkapan yang sering terlontar.

Jika salah kaprah dalam aspek penggunaan “kata dan istilah, dalam pergaulan sehari-hari masih bisa ditolerir, karena hal itu masih terkait erat dengan tingkat pengetahuan sehingga masih bisa dikoreksi di kemudian hari. Yang menjadi persoalan, adalah salah kaprah dalam aspek kebiasaan yang melanggar norma, etika dan tata Krama. Dalam perspektif masyarakat Gorontalo, seseorang yang sadar atau tidak sadar melakukan sesuatu yang salah dan terbiasa melakukan kesalahan itu secara berulang, kapan saja, di mana saja dan dengan siapa saja tanpa ada upaya memperbaikinya,  maka hal itu disebut sebagai “Watade” atau “ma watade liyo” yang mengandung arti, bahwa orang itu mewarisi watak atau karakter dari “Batade” (Kambing).

Tidak hanya itu saja, salah kaprah dalam perspektif yang lebih luas lagi, juga bisa ditemukan dalam diri seseorang yang berhubungan dengan  aspek pekerjaan dan tugas yang ditunaikannya. Meski demikian, outputnya  tetap bermuara pada performance diri, kapasitas dan kompetensi diri seseorang.

Itulah sebabnya ada ungkapan yang mengatakan, jika sekadar hidup, binatang melata pun  hidup, jika sekadar bekerja, kerbau dan sapi di sawah juga bekerja, bahkan jika sekadar belajar berkata dan berbicara,  Burung Beo di kandang pun dibelajarkan bicara dan berkata. Itu artinya, ungkapan ini  mengandung hikmah pembelajaran, bahwa dalam hidup ini, setiap individu tidak dapat melepaskan diri dari statusnya sebagai makhluk sosial.

Oleh karena itu, akal sehat menjadi pemimpin dalam mengendalikan diri, belajar menuntut ilmu dan adab sehingga potensi untuk  mengucapkan maupun melakukan sesuatu yang “salah kaprah” dapat diminimalisir sedini mungkin. Mengenal diri dengan bermuhasabah dan melakukan introspeksi diri menjadi sisi lain yang patut menjadi tekad dalam menatap masa depan yang lebih baik.

Dengan mengenal diri, seseorang akan tahu diri dalam menempatkan diri, sesuai dengan kemampuan dan kapasitas diri sehingga tidak selalu berpikir untuk diri sendiri melainkan berpikir tentang perasaan dan pikiran orang lain. Lebih jauh lagi, karena setiap orang pada akhirnya harus bekerja, berkarir bahkan ada yang mendapatkan amanah sebagai pemimpin dan sebagainya, maka satu hal yang menjadi tuntutan dan tuntunan, adalah menjaga akal pikiran dan menjaga hati dengan terus belajar untuk menghayati  tentang hakekat hidup beserta norma yang berlaku.

Dalam tataran ideal di masyarakat, pada dasarnya yang paling hakiki itu adalah pembawaan diri. Seorang yang tuna karya yang “beradab” masih lebih mulia dari seorang yang kaya raya tapi culas dan tidak beradab. Oleh karena itu, menjadi apapun seseorang, obyek penilaiannya adalah pada lelaku dalam berbicara, bertindak dan berbuat.

Sesungguhnya, lelaku dalam kehidupan sehari-hari di tengah pergaulan di masyarakat, adalah cermin keluarga, menjadi cerminan orang tua serta menjadi ukuran terhadap kualitas kehidupan keluarga seseorang.

Kesimpulannya adalah, senantiasa belajar membuka cakrawala pemikiran, memperluas wawasan keilmuan dan menempa dengan nilai-nilai tentang adab sehingga mampu menempatkan diri secara elegan dan yang terpenting adalah tidak salah kaprah dalam banyak hal. Salah kaprah sangat terkait dengan tingkat keilmuan seseorang, menjadi ukuran dalam menilai kualitas agama seseorang dan menjadi cerminan kualitas kehidupan keluarga. Semoga… (***)

 

Penulis adalah Guru Besar Tetap Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Gorontalo

Ketua TP-PKK Kabupaten Gorontalo,

Ketua PGRI Kabupaten Gorontalo,

Ketua ICMI Kabupaten Gorontalo,

Ketua Kwartir Cabang Gerakan Pramuka Kabupaten Gorontalo

Surel: forynawai@ung.ac.id

Leave a Comment