fip.ung.ac.id, Opini – Belakangan ini masyaarakat di gorontalo banyak disuguhi berita tentang orang tua siswa menurut guru ketika anaknya mendapatkan hukuman di sekolah. Bahkan, ada orang tua siswa yang melakukan kekerasan fisik pada guru sekolah. Dan yang terbaru, salah seorang wali murid, yutisna supatmi, menggugat guru dan kepala sekolah karena anaknya tidak naik kelas, ibu yutisna merasa sebagai orang tua tidak pernah mendapat sosialisasi dari sekolah soal syarat kriteria ketuntasa minimal (KKM).
Fenomena itu terjadi karena meningkatnya kesadaran siswa dan orang tua siswa terhadap hak-hak mereka sebagai peserta didik persaingan antar lembaga pendidikan yang makin ketat memperkuat pandangan masyarakat bahwa saat ini banyak sekolah atau kampus yang memerlukan siswa atau mahasiswa dan bukan sebaliknya. Banyak lembaga Namun, disisi lain, pandangan peserta didik bisa memberikan dampak negatif bagi proses pembelajaran, khususnya dalam mendidik karakter.
Jika konsumen berhak komplain, memaki-maki, dan menggugat prosuden, demikian juga banyak peserta didik atau orang tuanya juga berpandangan demikian. Kalau prosuden mengikuti kebutuhan selera konsumen, begitu pula beberapa peserta didik atau orang tuanya juga ingin mengatur bentuk layanan, tugas-tugas yang diberikan, dan bahkan kalau bisa mendikte kurikulum dari lembaga pendidikan dari sisi ekonomis dan kedisiplinan.
Peserta didik sebagai konsumen akan menghargai lembaga pendidikan yang sejak awal dapat menjelaskan proses belajarnya dengan baik sehingga tidak ada lagi alasan untuk komplain, apa lagi menuntut, diluar apa yang dijanjikan.Pendidikan belakangan ini harus memperlakukan siswa atau mahasiswa seperti konsumen. Dalam pandangan masyarakat, konsumen adalah raja sehingga memperlakukan mereka sebagai “raja”. Bukan dari sisi proses pembelajaran yang tidak selalu bisa menyenangkan konsumen.
Mengemukakan pentingya sekolah mengembangkan budaya yang berorientasi kepada market sehingga dapat menciptakan nilai dan formal yang unggul dan berkelanjutan bagi sekolah tersebut. Bagitu pula pendidik, dalam hal ini guru sekolah, perlu memiliki jiwa marketing. Persaingan sekolah yang makin ketat mamaksa guru-guru yang mayoritas lebih berjiwa sosial dari bisnis lebih sensitif terhadap kondisi market yang berpotensi menambah atau mengurangi jumlah siswa yang akan mendaftar kesekolah meraka.
Permasalahnya apakah dengan demikian peserta didik atau orang tuanya boleh bertuntut, bahkan “memaksakan” banyak hal kepada lembaga pendidikan demi kepuasan mereka? Kalaupun lembaga pendidikan berpandangan bahwa siswa adalah konsumen yang harus dilayani, hal utama yang harus dipertimbangkan adalah produk utama yang dihasilkan dan dujanjikan oleh lembaga pendidikan tersebut.
Pandangan peserta didik sebagai konsumen seharusnya bisa menjadi lecutan positif juga bagi lembaga pendidikan untuk lebih bersikap profesional dalam mendidik siswa atau mahasiswa. jika lembaga pendidikan merasa tidak membutuhkan siswa atau mahasiswa, tak urung muncul sikap orgaansi pada guru atau dosen sehingga mereka bertindak semena-mena terhadap peserta didiknya.
Tidak disiplin mengajar atau membimbing, memberikan nilai secara subjektif tanpa rubrik atau standar penilaian yang fair, dan menghukum peserta didik secara adil. Bahkan, ada juga yang melakukan tindakan diskriminatif terhadap peserta didiknya. Tentu hal tersebut bukan sikap profesional seorang pendidik sehingga adanya fenomena “peserta didik adalah konsumen”akan melecut mereka untuk mengubah sikap demi meningkatkan atau mempertahankan daya saing lembaga pendidikannya.
Lembaga pendidikan sepatutnya tidak menjanjikan produk yang bisa menghibur dan memuaskan semua peserta didik sebagai konsumennya. Sekolah atau kampus bukan pelaku bisnis entertaimen. Sekalipun metode dan teknologi pembelajaran saat ini makin berkembang dan makin menghibur dan berbagai video dan permainan edukasi, bisni utama, lembaga pendidikan bukan entertaimen. Perkembangan metode dan teknologi pembelajaran ditunjukan untuk membuat peserta didik lebih terlihat aktif, tidak jenuh dalam proses pembelajaran, dan menjadi kreatif, namun bukan untuk hiburan.
Demikian pula lembaga pendidikan berhak memberikan janji kepada peserta didik sebagai konsumen dengan diikuti persyaratan aturan main yang transparan dan fair. Peserta didik akan mengambangkan pengetahuan, skill, dan sikap yang baik jika mengikuti aturan-aturan dilembaga pendidikan, termasuk aturan kedisiplinan. Peserta didik sebagai konsumen akan menghargai lembaga.
Penulis:
Yenti Juniarti 1, Fikri2, Trias3, Tira4, Wiwid5, Rini6, Masyita7, Nazwa8, Virgina9, Rabiatul10, Ramla11, Ananda12, Prahara13, Pratiwi14, Muli15, Fira16, Ram17, Endang18, Maysarah19, Riyanti20, Rosalinda21, Imel22, Amel23, Astrid24, Nia25, Cinda26, Dela27,Nurnaningsih28