fip.ung.ac.id, Opini – Kebudayaan adalah sistem kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan, serta kebiasaan-kebiasaan yang di dapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Manusia yang berperan utama terjadinya kebudayaan, karena manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan manusia lain dalam kehidupannya dan ini sangat berkaitan dengan sistem kebudayaan itu sendiri.

Budaya yang menjadi topik bahasan, diambil dari Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat yang terkenal memiliki Toleransi beragama yang sangat tinggi. Oleh sebab itu, Sikap tersebut yang akan dibahas untuk memperkenalkan bahwa Perbedaan agama dan budaya bukan halangan untuk menjalin kekeluargaan. Sejak jaman dahulu kala, masyarakat fakfak hidup berdampingan dan rukun dalam perbedaan agama. Hal ini dibagi dua bagian yaitu masyarakat yang menduduki daerah pesisir pantai umumnya memeluk agama Islam dan warga di dataran tinggi beragama Kristen Protestan dan Katolik sehingga menjadi ciri khas masjid selalu hidup rukun.

Ikon bersejarah yang menjadi saksi penting dalam toleransi beragama ini adalah Masjid Patimburak di distrik Kokas kabupaten Fakfak. Masjid Patimburak menjadi sejarah penyebaran agama Islam di Tanah Papua yang dibangun kurang lebih 150 tahun yang lalu dan telah menjadi Masjid tertua di Fakfak dan sekaligus Provinsi Papua Barat yang masih berdiri hingga sekarang. Masjid ini di bangun oleh Raja Pertuanan Wertuar pada tahun 1870 yang arsitekturnya dirancang perpaduan antara bentuk masjid dan gereja.

Tentu saja masjid ini bukan hanya menjadi tempat peribadatan agama Islam namun juga menjadi simbol toleransi. Jika diperhatikan dari bentuk bangunannya, akan terlihat kubah yang menyerupai model atap Gereja-gereja ala Eropa, dan betuk ventilasi dan pilar banguan juga dibuat versi bangunan kolonial. Dan hal lain yang membuat unik masjid ini adalah keberadaan tiga pintu yaitu di sisi utara, selatan dan timur masjid memiliki filosofi ”Tiga pintu ini menuju ke satu titik untuk bersujud. Ini menggambarkan pada dasarnya kita bersaudara dan berdoa ke arah yang sama” yang keberadaan tiga pintu itu melambangkan agama di Fakfak yaitu Islam, Kristen dan Katolik.

Masjid Patimburak Kabupaten Fakfak Papua Barat

Wujud toleransi dan solidaritas antara masyarakat dan perbedaan agama ini tidak hanya ditunjukan dari bentuk bangunan masjid dan proses pembangunannya juga telah menggambarkan persatuan karena dibangun bersama-sama oleh ketiga agama secara gotong royong. Pada saat proses pembangunan, posisi masjid berada di daerah pesisir yang artinya dihuni oleh masyarakat yang beragama Muslim, saudara-saudara yang beragama Kristen dan Katolik dari daerah pegunungan turun untuk membantu saudara mereka dengan membawa hasil kebun seperti keladi (singkong), pisang, sayur-sayuran untuk dinikmati bersama selama proses pembangunan.

Karena orang-orang yang hidup di daerah pegunungan memiliki askses banyak terhadap pemilihan kayu yang bagus, mereka memberikan bantuan untuk mencari kayu yang terbaik untuk membangun fondasi dan membantu memberikan tenaga selama proses pembangunan. Hal ini menjadi warisan yang masih terjaga dan dilakukan sampai hari ini, yaitu setiap pembangunan rumah ibadah di Fakfak, baik itu Gereja maupun Masjid akan tetap melibatkan penduduk dari agama yang berbeda.

Hal itu pun yang mendasari bahwa perbedaan sudah bukan hal yang membuat perpecahan melainkan menjadikan ikatan kekuatan kekeluargaan ini semakin erat. Tentu saja ini tidak terlepas dari falsafah Fakfak itu sendiri yaitu, “Satu Tungku Tiga Batu” atau 3 batu yang sedang menyangga tungku/panci, artinya tungku/panci adalah simbol dari kehidupan yang di sanggah 3 batu yang bermakna “Kau, Saya, dan Dia” yang menghubungkan setiap perbedaan baik agama, suku dan status sosial menjadi satu dalam wadah persaudaraan dan kekeluargaan.

Oleh karena itu kerukunan yang diciptakan dapat dirasakan setiap lapisan masyarakat, karena terealisasikan dalam kehidupan sehari-hari, dan telah membaur tanpa ada sekat perbedaan agama, suku, budaya dan status sosial yang pada akhirnya akan melahirkan sikap saling mengerti dan menghargai dengan sendirinya dalam setiap lapisan masyarakat. Akhir kata semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca. (***)

Penulis:

Suzeth Hatting Fakdawer dan Mardiah Bin Smith (Jurusan Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Gorontalo)

Leave a Comment