fip.ung.ac.id, Opini – Fenomena rutinitas di akhir tahun yang sering dihadapi kepala daerah di tiap provinsi adalah masa demonstrasi kaum buruh atau pekerja. Mereka selalu menyuarakan harapan adanya kenaikan terhadap besaran Upah Minimum Provinsi (UMP) yang bisa diterima dari korporasi atau institusi tempatnya bekerja. Harapan ini muncul, seiring kenaikan biaya kebutuhan hidup yang tidak bisa ditahan lajunya. Penyampaikan harapan tersebur dipandang sesuatu yang realistis bagi pekerja, karenaposisi Pemerintah Provinsi sebagai regulator dalam penetapan besaran UMP. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pasal 89, ayat 3 menjelaskan upah minimum provinsi ditetapkan Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota. Posisi pemerintah provinsi dalam penetapan UMP juga dipertegas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan dimana Gubernur wajib Menetapkan Upah Minumum Propinsi, paling lambat tanggal 21 November tahun sebelumnya. Dalam penetapan besaran UMP, Gubernur dapat membentuk Tim Kerja guna merumuskan dan memberikan pertimbangan dengan memperhatikan kebutuhan hidup minimum pekerja bersama keluarganya.Dalam kapasitas dan posisi yang strategis ini, keputusan penetapan UMP oleh kepala daerah yakni Gubernur, keputusan tentang besaran UMP selalu menjadi isu yang seksi dan politis.

Kenapa isu terkait besaran UMP dikatakan seksi?, Ada beberapa pertimbangan, antara lain keputusan penetapan UMP menyangkut kepentingan banyak pekerja dalam memenuhi kebutuhan hidupnya beserta keluarga secara layak dan manusiawi. Jangkauan yang luas, dan menjadi perhatian banyak pihak, sehingga mau tidak mau pemerintah mesti melakukan yang terbaik, agar tidak terjadi deadlock atau tidak ada titik temu dalam penetapan besaran yang bisa disepakati bersama oleh para pihak baik pekerja maupun pelaku usaha. Sedangkan pihak lain menilai penetapan besaran UMP dalam prespektif politis, karena posisi pejabat Gubernur sebagai pengambil keputusan dalam menentukan besaran UMP menuntut kemampuan dan seni politik yang bagus guna mengakomodir kepentingan kedua belah pihak yang saling bertolak belakang. Kepala Daerah mesti memiliki keterampilan dan kemampuan melakukan kompromi dan bargaining position dengan skill berkomunikasi yang handal baik kepada pelaku dunia usaha dan pekerja, sehingga kedua belah pihak dapat menerima keputusan tersebut.

Di beberapa daerah terkesan kebijakan kepala daerah lebih berpihak kepada dunia usaha dan cenderung mengamankan kepentingan pelaku usaha untuk mengerem atau menahan laju kenaikan UMP. Pemerintah daerah bisa saja berkeyakinan dan merasa perlu memberikan ruang yang lebih kondusif bagi dunia usaha berkembang dengan tidak membebani kewajiban penggajian pekerja yang memberatkan biaya operasional usahanya. Kebijakan itu, seringkali mendapatkan penolakan, bahkan tidak jarang diikuti demonstrasi pekerja secara besar-besaran, berjilid-jilid, ada juga beberapa lokasi terjadi kericuhan. Penolakan pekerja bisa terjadi berhari-hari bahkan sampai menimbulkan korban jiwa. Oleh sebab itu, kepala daerah diharapkan mampu membangun kekuatan dan kemampuan politik untuk mengerem besaran arus penolakan yang mengganggu iklim berusaha di tengah masyarakat. Meredam penolakan pekerja, kepala daerah juga dituntut memiliki strategi yang jitu dalam melakukan kompromi, agar pekerja bisa memahami dan menerima kebijakan kepala daerah.

Sebaliknya ada juga kepala daerah yang lebih berani berinisiatif mengakomodir kepentingan pekerja dengan menaikkan UMP sesuai tuntutan pekerja, sekaligus meminta dan memaksa dunia usaha bisa menerima kebijakan tersebut sebagai bagian dari kompromi dan komunikasi yang baik. Penolakan UMP juga bisa datang dari pelaku usaha mereka ramai-ramai menyatakan ketidaksanggupan dan menggugat keputusan kepala daerah terkait besaran UMP kepada pihak terkait, misalnya gugatan itu diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Ketika PTUN membatalkan besaran yang sudah ditetapkan pemerintah daerah, maka kewajiban pemerintah daerah untuk patuh dan taat dengan keputusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum (inkracht).

Dinamika penetapan UMP yang terjadi selama ini, menyakinkan kita bahwa perlu keterampilan melakukan kompromi dan komunikasi yang baik dalam penetapan UMP oleh kepala daerah kepada kedua belah pihak baik dunia usaha dan pekerja bisa saling menerima. Usaha bargaining position tersebut seringkali dipandang sebagai kegiatan yang bersifat politis. Terlepas dari pemikiran penetapan UMP sebagai isu yang seksi dan politis, penulis memandang kepala daerah perlu memiliki kemampuan imperatif (memaksa) kedua belah pihak bisa menerima setiap besaran UMP yang sudah ditetapkan dalam surat keputusan kepala daerah.

Polemik Formula Besaran UMP

Penghitungan Besaran UMP tahun 2021 dan 2022 menggunakan landasan yuridis berupa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan. Mengacu pasal 5, dijelaskan kebijakan pengupahan meliputi, penetapan upah berdasarkan satuan waktu dan/atau satuan hasil, struktur dan skala upah, upah minimum, upah terendah pada unit kerja baik dalam skala mikro, usaha kecil, maupun makro,usaha besar, perlindungan upah, bentuk dan cara pembayaran upah. Formula penentuan besaran upah minimum mempertimbangkan juga kondisi ekonomi nasional dan ketenagakerjaan, Besaran UMP memperhitungkan batas atas dan bawah upah minimum sebagai acuan nilai upah minimum tertinggi dan terendah yang dapat dijadikan pertimbangan anggota Dewan Pengupahan Provinsi menetapkan besaran UMP yang dimuat dalam Surat Keputusan Gubernur. Penerapan formula besaran UMP sejak diluncurkan tahun 2021 sampai sekarang masih menimbulkan pro dan kontra. Apalagi PP 36 Tahun 2021 merupakan produk legislasi dari kebijakan pemerintah terkait Omnibus Law Undang-undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dinilai Mahkamah Konstitusional (MK) tidak sesuai konstitusi atau inskonstitusional bersyarat. Dimana Pemerintah diminta melakukan perbaikan selama 2 tahun. Jika tidak ada, maka UU nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dinyatakan tidak berlaku.

Saat ini regulasi pengupahan yang terdapat dalam PP36 tahun 2021 sebagai payung hukum penetapan UMP, di ruang publik beredar desas-desus sudah dicabut pemerintah. Penulis sendiri belum mendapatkan informasi yang menyakinkan terkait isu tersebut. Tetapi jika benar dicabut, pemerintah perlu menyiapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) terkait pengupahan. Jika belum diterbitkan bisa berpotensi terjadi kekosongan aturan pengupahan, sebagai landasan yuridis untuk menetapkan UMP tahun 2023. Memang saat ini ada analisis kondisi kekinian terkait perhitungan UMP tahun 2021 dan 2022 berdasarkan PP36/2021 yang dilakukan Kementerian Ketenagakerjaan RI. Kesimpulannya PP 36 tahun 2021 perlu disempurnakan, pertimbangannya bersifat situasional dalam rangka menjaga daya beli pekerja/buruh, meningkatkan indek kebahagiaan  keluarga, dan kelangsungan usaha. Atas pertimbangan tersebut tanggal 17 November 2022 terbit satu payung hukum berupa Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023 dimana klausul menarik diberikan ruang kebijakan pemerintah daerah dapat melakukan kenaikan maksimal 10%, dengan memperhatikan variabel inflasi, pertumbuhan ekonomi masyarakat, daya beli pekerja, dan variabel α (alfa). Pertimbangan laintentu beririsan dengan pemenuhan indikator produktivitas dan indikator perluasan kerja, yang dapat mewakili dari kedua unsur dalam penetapan UMP baik pekerja maupun pengusaha.

Terlepas dari berbagai perubahan payung hukum yang terus menerus menimbulkan pro dan kontra, terkait penetapan besaran UMP. Dinamika tersebut dari dulu sampai sekarang diyakini akan tetap terjadi. Karena memang, kepentingannya sangat bertolak belakang antara pelaku usaha dan pekerja. Untuk mengurangi perdebatan antara pekerja dan dunia usaha dalam penetapan UMP, semua pihak dipandang perlu memahami besaran UMP yang realistis menjadi amanat undang-undang, sehingga pihak-pihakterkait bisa menghormati dan menjalankan sebagai bentuk tanggungjawab sosial, kelembagaan dan kemanusiaan. Contoh teranyer polemik penetapan besaran UMP tahun 2023 sampai saat ini diyakini belum bisa dicapai kesepakatan para pihak, walaupun sampai batas waktu yang ditetapkan 7 Desember 2022 sebagai akhir penetapan angka UMP tahun 2023. Pihak Kamar Dagang dan Industri (Kadin), dan pelaku usaha lainnya menggugat penetapan Permenaker No. 18 tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023, ke Mahkamah Agung. Kadin lebih setuju untuk mempertahankan PP 36 Tahun 2021, sebalik asosiasi pekerja setuju dengan aturan yang baru  Permenaker No. 18 Tahun 2022, di pandang lebih realistis dengan kondisi kekinian. Walaupun terjadi perdebatan terkait besaran UMP, realitasnya sejak tanggal 7 Desember semua provinsi sudah menetapkan besaran UMP tahun 2023 tentu semua itu didukung kemampuan politik tingkat tinggi oleh masing-masing Gubernur dan Dewan Pengupahan Provinsi. Data yang dirilis Tempo, tanggal 29 November 2022 mengungkapkan kenaikan UMP 2023 di tiap provinsi berbeda-beda mulai dari yang terendah 2,6 persen hingga yang tertinggi 9,15 persen. Provinsi kenaikan UMP terendah yaitu Papua Barat 2,6% tertinggi Sumatra Barat yaitu naik 9,15 persen. Khusus Provinsi Gorontalo besaran UMP mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya sebesar 0,42%, dimana  tahun 2022 ditetapkan UMP sebesar Rp. 2.800.580,- Sedangkan untuk tahun 2023 juga ada kenaikan yang signifikan sebesar 6,74% menjadi Rp. 2.989.350. Persoalan berikutnya menguji ketaatan pengusaha atau pemilik usaha mematuhi besaran UMP kepada pekerja dan iklim investasi kompetitif yang terbangun dengan besaran UMP yang ditetapkan.

Harapan Hukum Imperatif, dan Ekosistem Investasi yang Kompetitif

Persoalannya besaran UMP tahun 2023 yang sudah ditetapkan Pemerintah Provinsi di seluruh Indonesia, diyakini sekedar pemenuhan amanat undang-undang semata, sifatnya mengatur para pihak atau seringkali dikenal dengan hukum fakultatif. Artinya besaran UMP berpotensi sebagai sebuah produk hokum yang tidak secara apriori mengikat kedua belah pihak baik pengusaha dan pekerja dan cenderung di lapangan banyak bersifat sebagai pelengkap karena pelanggaran dan ketidaktaatan terjadi dengan berbagai alasan normatif, misal kemampuan keuangan dan perjanjian kerja yang tidak mengikat. Kondisi ketidaktaatan itu juga tidak menjadi perhatian, pembiaran yang bersifat situasional belum ada kekuatan hukum memaksa.

Padahal, besaran UMP merupakan kebijakan dan wilayah hukum publik, yang mengatur tatanan kehidupan dan kebutuhan pokok masyarakat, selama ini belum terlihat sebagai hukum imperatif yang bersifat mengikat dan memaksa dunia usaha untuk mematuhinya, diikuti pemberian sanksi bagi yang tidak taat, alias nakal. Pemerintah provinsi sebagai regulator dalam penetapan UMP cenderung belum memiliki political will yang kuat untuk melakukan edukasi, pembinaan, pengawasan, monitoring dan evaluasi terkait implementasi besaran UMP di tengah masyarakat. Sehingga besaran UMP bisa menjadi hukum imperatif yang sifatnya dalam keadaan bagaimanapun harus dan mempunyai upaya paksaan yang mutlak sehingga para pekerja bisa mendapatkan kehidupan yang layak dalam memenuhi kebutuhan dasar sebagai pribadi maupun dalam berkeluarga. Hal ini juga sudah diamanatkan dalam UU Ketenagakerjaan, dimana pihak-pihak yang melanggar ketentuan upah minimum merupakan tindak pidana kejahatan dan pengusaha diancam sanksi pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100 juta dan paling banyak Rp 400 juta. Pertanyaan sudah berapa pengusaha atau dunia usaha yang diberikan sanksi atas ketidaktaatan atas keputusan UMP tersebut? Karena di lapangan sangat banyak tenaga kerja yang di gaji di bawah UMP, baik yang bekerja di koorporasi besar maupun kecil. termasuk rendahnya gaji yang diterima pegawai di lingkungan lembaga pendidikan mulai sekolah sampai perguruan tinggi.

Bahkan perguruan tinggi kesulitan mencari lulusannya yang bisa mendapatkan penghasilan diatas 1,2 UMP sebagai patokan penilaian indikator kinerja utama (IKU). Oleh sebab itu, Pemerintah Provinsi gencar melakukan sosialisasi terkait besaran UMP tahun berjalan bisa ditaati. Supaya pekerja mendapatkan penghasilan yang layak dan manusiawai. Upaya yang lebih moderat dilakukan Pemerintah Provinsi melalui Dewan Pengupahan bisa melakukan kajian mendalam tingkat ketaatan dan kesanggupan dunia usaha mematuhi UMP yang sudah ditetapkan. Dewan Pengupahan bersama asosiasi pekerja dan dunia usaha melakukan diskusi mendalam mendapatkan besaran UMP yang kompetitif, yang bisa mendorong kehadiran investor global masuk dengan penyerapan lapangan kerja yang banyak. Kehadiran koorporasi besar dengan penyerapan tenaga kerja lebih banyak tentu dibutuhkan untuk menggerakan ekonomi masyarakat lebih agresif. Jadi, posisi regulator UMP yang ideal adalah mampu memastikan dunia usaha taat hukum (imperatif), sekaligus terbangun ekosistem investasi baru muncul dari besaran UMP yang kompetitif ditetapkan.

Artikel ini telah terbit di Gorontalo Post, Senen 2 Januari 2023

Penulis adalah Pegiat Sumber Daya Manusia dan Dosen Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Gorontalo

Leave a Comment