fip.ung.ac.id, Opini – Kata “Resistensi” bukan istilah yang asing dalam kehidupan masyarakat. Istilah ini sering digunakan, terutama oleh para intelektual yang menggambarkan sesuatu yang ada resiko, memiliki kontradiktif atau sesuatu perlawanan atau yang berlawanan yang dapat menghalangi maupun merintangi upaya bahkan tujuan dan cita-cita yang hendak dicapai.
Sikap malas merupakan bagian dari resistensi kemajuan, royal dan boros menjadi resistensi dari obsesi meraih kebahagiaan, serangan hama di kalangan petani merupakan resistensi bagi petani dalam meningkatkan produksi padi. Dari contoh ini dapat diperoleh gambaran, bahwa Resistensi merupakan faktor-faktor yang menjadi penghambat terhadap tercapainya suatu tujuan.
Dengan demikian, kata Resistensi merujuk pada 2 aspek penting, yakni aspek keinginan, tujuan, harapan dan cita-cita. Namun dibalik itu, terdapat aspek yang seakan menghadang, sesuatu yang kontradiktif dan berlawanan yang bakal menghambat proses meraih keinginan dan cita-cita itu.
Dari ungkapan ini, maka jelas dalam hidup ini selalu ada resistensi, baik yang bersumber dari internal atau secara personal dan bersumber dari faktor eksternal, baik dari orang lain atau akibat fenomena alam yang tak terduga datangnya. Setiap orang, setiap daerah bahkan setiap bangsa di dunia yang memiliki keinginan dan cita-cita pasti diperhadapkan oleh sebuah resistensi.
Itulah hakekat dan pentingnya “daya juang”, ikhtiar dan ketegaran setiap orang menjadi sangat berharga. Artinya bagi orang yang tidak memiliki daya juang yang tinggi, malas dan sikap buruk lainnya, resistensi justru menjadi alasan baginya untuk memerdekakan diri.
Ada ungkapan yang mengatakan, bahwa resistensi utama dalam menggapai sebuah harapan, lebih banyak bersumber dari personaliti. Kecuali dalam ruang lingkup kehidupan berbangsa atau di daerah-daerah, terdapat resisensi sosial yang bersifat kolektif dan massif.
Dari uraian tersebut diatas, maka resistensi perlu dikelola dengan baik sebagai bagian dari kontribusi terhadap kehidupan orang banyak. Salah satu bentuk dari pengelolaan resistensi adalah melakukan “identifikasi” pada tahap perencanaan. Identifikasi sangat penting dalam mengurai dan memecahkan masalah sehingga dapat meminimalisir resistensi yang menghadang.
Resistensi membutuhkan ruang atensi karena menyangkut masa depan seseorang bahkan masa depan orang banyak. Dengan atensi yang kuat maka resistensi yang menghadang, lambat lain akan takluk dan membebaskan siapapun untuk berselancar secara bebas dalam kehidupan suksesnya.
Itulah kekuatan mengenal kata. Karena terkadang banyak yang menghadapi resistensi dalam meraih kehidupan yang lebih baik. Bahkan pemerintah sendiri terkadang dalam program menurunkan angka kemiskinan, pengangguran dan sebagainya, menghadapi begitu banyak resistensi yang menghambat sehingga pendekatan-pendekatan yang dilakukan untuk program-program tersebut belum berhasil secara signifikan.
Oleh karena itu, kaidah pendekatan menghadapi resistensi adalah proses identifikasi bahkan hingga pada pendekatan kultur, historis dan geografis. Bagaimanapun, berbagai resistensi yang ada, baik Resistensi dalam ruang lingkup individu maupunresitensi dalam ruang lingkup sosial memiliki korelasi yang saling mengikat sebagai sesama makhluk Tuhan.
Oleh karena itu, setiap orang sejatinya saling bergandengan tangan melawan Resistensi untuk menggapai kebahagiaan bersama. Resistensi dalam ruang lingkup yang lebih luas tidak hanya berbicara tentang bagaimana melakukan ikhtiar untuk meminimalisir Resistensi,, tapi juga berbicara tentang sikap hidup dan “mindset” individu-individu yang tidak hanya berpikir tentang diri sendiri, tapi juga tentang daerah dan bangsa ini secara menyeluruh.
Yang jelas dalam ranah apapun, resistensi itu selalu ada dan menggejala dalam setiap langkah untuk menggapai harapan. Maka tidak ada jalan lain, selain berusaha, berikhtiar dan tidak pernah putus asa ketika menghadapi rintangan. Mentalitas hidup orang yang sukses adalah tidak pernah mundur melainkan tetap tegar menghadapi berbagai rintangan.
Karena resistensi berbicara tentang sikap hidup dan karakter kemanusiaan, maka salah satu sasaran penting yang perlu mendapat perhatian saat ini dan ke depan, adalah anak-anak didik. Apalagi dengan perkembangan teknologi informasi yang semakin maju, menjadikan generasi millenial saat ini cenderung terpesona dengan “dunia Maya” yang seakan menghadirkan kemudahan-kemudahan yang sangat kontradiktif dengan “dunia nyata” yang membutuhkan perjuangan dan kerja keras.
Oleh karena itu, guru dan orang tua di manapun dapat menaruh perhatian untuk membimbing anak-anak didiknya agar tidak terbawa arus apalagi menjadikan “gadget” dan dunia Maya sebagai rujukan hidup. Sesungguhnya dunia nyata cenderung tidak seindah dunia maya. Etos kerja dan daya juang merupakan aspek penting yang menjadi prasyarat untuk maju, bukan seperti yang ada di sinetron-sinetron yang menghadirkan “ibu peri” yang hanya dengan telunjuknya semua yang diinginkan terpenuhi.
Karena hidup di dunia nyata, tidak hanya ada harapan, keinginan, kebutuhan dan obsesi, tapi di dunia nyata begitu jelas resistensi seakan menghadang yang jika lengah akan membuyarkan segala harapan dan cita-cita. Ada Resistensi maka tidak ada jalan lain harus menghadirkan atensi. (***)
Penulis adalah Guru Besar Tetap Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Gorontalo, Ketua TP-PKK Kabupaten Gorontalo, Ketua PGRI Kabupaten Gorontalo, Ketua ICMI Kabupaten Gorontalo, Ketua Kwartir Cabang Gerakan Pramuka Kabupaten Gorontalo
Surel: forynawai@ung.ac.id