fip.ung.ac.id, Opini – Dalam pengertiannya, obsesi adalah keinginan atau dorongan untuk meraih dan mendapatkan sesuatu atau dorongan maupun keinginan yang kuat terhadap seseorang. Hal itu merupakan sesuatu yang wajar dan manusiawi. Hanya saja, obsesi atau keinginan sejatinya tetap terukur dan berkesesuaian dengan kemampuan, kapasitas dan realitas. Mengapa? Karena seseorang yang memiliki dorongan yang kuat hingga merasuk ke dalam hati yang paling dalam untuk menggapai sesuatu yang “sulit” untuk diwujudkan,akan berpotensi mengalami syndrom yang disebut “Obsesif”.
Para pakar psikologi dalam berbagai literatur menyebutkan, bahwa obsesif tidak hanya muncul dalam bentuk hasrat dan keinginan yang kuat terhadap sesuatu sehingga “lupa diri”, tapi obsesif juga berpotensi menghinggapi seseorang yang pernah “berjaya” apalagi jika orang itu tengah menderita “power syndrom”karena sulit “move on”. Obsesif jenis ini lebih berbahaya, karena ia terobsesi pada kejayaan atau indahnya “masa lalu” yang dihormati, dieluk-elukksn dan sebagainya yang sudah sangat sulit untuk terulang kembali. Dengan demikian, obsesif jenis ini sangat mudah diidap atau menghinggapi mereka yang tidak menyadari bahwa “roda kehidupan” selalu berputar, dimana setiap orang ada masanya dan setiap masa ada orangnya.
Hal itu berbanding terbalik dengan kondisi, dimana obsesif itu mendera atau dialami oleh seorang anak remaja. Dalam aspek-aspek tertentu, justru obsesif membawa dampak positif. Misalnya seorang anak remaja yang terobsesi ingin menjadi Tentara, Polisi, Dokter atau profesi lainnya yang ia cita-citakan. Dengan obsesi itu, ia kerahkan segala kemampuan yang ia miliki, menjadi rajin berlatih dan tekun belajar demi menggapai obsesinya itu. Namun jika obsesif itu menghinggap pada seseorang yang sudah berusia lanjut misalnya, maka hal itu tidak wajar, bahkan menjadi pemicu munculnya berbagai gangguan kesehatan fisik dan non fisik.
Oleh karena itu, boleh disebut, bahwa obsesif itu dapat dikategorikan menjadi 2 elemen, yakni obsesif terukur dan obsesif yang tidak terukur. Obsesif yang terukur adalah obsesi yang masih berada dalam ruang yang aman. Artinya, apa yang diinginkannya atau apapun yang menjadi impiannya masih berkesesuaian dengan situasi dan kondisi yang dimilikinya. Obsesif seperti ini dalam aspek tertentu justru sangat positif untuk menggapai harapan dan keinginan itu dengan gemilang
Sebaliknya, obsesif yang tidak terukur, adalah obsesi yang tidak berkesesuaian dengan situasi, kondisi bahkan tidak lagi adaptatif dengan realitas dan kapasitas yang dimilikinya. Itulah sebabnya, obsesif yang tidak terukur inilah yang menjadi pemicu persoalan bagi dirinya dan orang lain. Yang patut digarisbawahi, bahwa obsesif yang tidak terukur, sebagaimana dijelaskan di atas sangat berpotensi dialami oleh mereka yang sudah mulai kehilangan “superioritas” karena berbagai faktor
Banyak fenomena atau kasus yang terjadi, dimana seseorang yang terlalu terobsesi “pada masa lalunya” yang pernah berjaya dan ingin merengkuh kembali kejayaan itu, justru mengalami depresi. Bahkan dalam istilah yang lebih ekstrim, obsesif yang tidak terukur dan sudah sangat akut, tidak lagi disebut sebagai “terobsesi” tapi lebih tepat diidentifikasi sebagai tergila-gila”.
Artinya, karena obsesinya yang sudah sangat merasuk ke dalam relung hatinya yang paling dalam terhadap sesuatu, maka apapun akan ia lakukan. Dalam kondisi yang demikian, ia cenderung tidak lagi rasional, akal sehatnya sudah terbenam oleh obsesinya yang sangat kuat itu.
Oleh karena itu, aspek penting yang menjadi rujukan, terutama mewaspadai syndrom obsesif tidak terukur adalah, “sadar diri” atau paling tidak legowo untuk “move on” sehingga tidak lagi terobsesi pada “kejayaan” masa lalu. Dengan begitu, segala bentuk sikap, ucapan dan tindakan, terutama kepada orang lain, tetap berada dalam koridor yang lazim, tidak lagi meletup-letup apalagi sampai kemudian menghujat atau menaruh kebencian pada orang lain.
Obsesif yang tidak terukur dengan demikian, dapat dimaknai sebagai bentuk perlawanan terhadap “garis tangan”. Sebagai ganjarannya, orang yang tetap bersikukuh berada dalam obsesif tidak terukur ini akan terjebak pada sebuah “ironi” bahkan lambat lain akan mengalami depresi akut yang sulit disembuhkan. Oleh karena itu, dalam ranah yang lebih luas dapat dimaknai, bahwa obsesif tidak terukur merupakan fenomena kehidupan yang dipicu oleh rendahnya pemaknaan hakekat hidup yang sesungguhnya.
Bagaimanapun, dalam hidup dan kehidupan ini tidak hanya berbicara tentang pencapaian, kesuksesan dan sebagainya. Tapi juga berbicara tentang “nilai-nilai” yang sejatinya dimanifestasikan secara elegan dalam kehidupan sehari-hari. Lagi pula, obsesif tidak terukur tidak hanya sekadar persoalan yang bersifat personal tapi juga dapat memicu hubungan dan interaksi yang tidak harmoni dengan orang lain.
Oleh karena itu dalam konteks pendidikan karakter, aspek penting yang selalu menjadi penekanan adalah melatih kemampuan dan kepekaan terhadap rasa kemanusiaan. Hal itu penting menjadi rujukan, karena sesungguhnya manusia adalah makhluk sosial yang dalam kesejatiannya dituntut mampu menciptakan harmoni dalam arti yang luas. Salah satunya, mampu mengukur kemampuan, kapasitas dan realitas sekaligus menyadari haekat hidup, bahwa roda kehidupan selalu berputar, setiap orang ada masanya, setiap masa ada orangnya. (***)
Penulis adalah Guru Besar Tetap Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Gorontalo, Ketua TP-PKK Kabupaten Gorontalo, Ketua PGRI Kabupaten Gorontalo, Ketua ICMI Kabupaten Gorontalo, Ketua Kwartir Cabang Gerakan Pramuka Kabupaten Gorontalo