fip.ung.ac.id, Gorontalo – Menjadi narasumber pada kegiatan kuliah umum di Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Manado (FIPP-Unima), Dr. Candra Cuga, M.Pd berbicara tentang transformasi kelembagaan Perguruan Tinggi (PT) & sekolah untuk mencegah kekerasan seksual, perundungan dan intoleransi, Senin (13/02).
Dr. Candra Cuga, M.Pd mengatakan, data menunjukkan, kekerasan baik berupa perundungan, intoleransi, maupun kekerasan seksual merupakan pekerjaan rumah besar bagi bangsa Indonesia. Sebanyak 41% pelajar berusia 15 tahun pernah mengalami perundungan, setidaknya beberapa kali dalam satu bulan, (Studi PISA, 2018).
“Tiga isu pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) yang dominan dilakukan oleh aktor Negara selama tahun 2021yaitu diskriminasi (25 kasus) dan kebijakan diskriminatif sebanyakl 18 kasus, (SETARA Institute, 2021).
“Sementara itu, kasus kekerasan seksual yang dilaporkan ke lembaga layanan dan Komnas Perempuan sepanjang 2012 – 2021, (Catahu Komnas Perempuan, 2012 – 2021). 69% kasus kekerasan berbasis gender (KBG) di ranah public terjadi di dunia siber, dan 49% kasus yang masuk di lembaga layanan Komnas Perempuan merupakan kasus kekerasan di tempat tinggal atau rumah, (sumber: Komnas Perempuan, 2021),” ujar Candra.
Candra mengatakan, kekerasan seksual memberikan dampak negatif pada korban dan tergantung derajat keparahannya, dan juga dampak dapat bersifat permanen. Efeknya paling besar, namun paling sulit dibuktikan antara lain: merasa tidak aman, merasa takut, mendapatkan label negative, kesulitan membangun hubungan social, merasa terisolasi, merasa bersalah, merasa malu, tidak percaya diri, merasa harga diri negative, dan marah.
“Kata kunci yang bisa menandai suatu tindakan sebagai bentuk kekerasan adalah adanya paksaan dari satu (atau lebih pihak) terhadap pihak lain dalam suatu perbuatan, yang bertujuan untuk memiliki kuasa atas pihak yang dipaksa”
“Selanjutnya mengenai masalah perundungan, aksi-aksi perundungan secara umum yang terjadi ini dapat dikategorikan menjadi empat bentuk utama yakni perundungan verbal, perundungan fisik, perundungan sosial atau relasional, perundungan daring (cyber bullying),” ucapnya.

Ketua Jurusan PGSD FIP UNG itu mengatakan, perundungan verbal ini seperti menghina atau mengejek siswa lain di sekolah dengan kata-kata negative, perundungan fisik memukul dan menendang siswa lain di sekolah, perundungan sosial atau relasional atau menyebarkan aib atau rumor siswa lain di lingkungan sekolah, serta perundungan daring atau cyber bullying seperti memberikan komentar atau pesan negatif di media social.
“Tiga hal yang dapat kita lakukan ketika mengetahui seseorang ini mengalami perundungan yakni: Dengarkan, Beri Dukungan, serta Laporkan. Maksud dari mendegarkan disini adalah berkomunikasi dua arah, mendengarkan dengan baik dan merespons dengan empati, mendengarkan dengan emosi yang terkontrol, tidak menyalahkan korban atas aksi perundungan yang terjad, dan tidak memberikan tanggapan yang mengintimidasi korban”
“Selanjutnya dengan cara memberi dukungan, yaitu membantu korban untuk mengumpulkan bukti kasus (mis., screenshot media sosial), membantu memikirkan rencana tindak lanjut untuk korban (mis., menjauhi pelaku, rekomendasi layanan untuk pelaporan), mendorong korban untuk bercerita dengan teman/keluarga untuk meminta bantuan, tidak menganjurkan korban untuk membalas aksi perundungan, dan tidak memaksa korban untuk melakukan tindakan yang membuat korban tidak nyaman,” ucap Candra.
Selain itu, kata Candra, kita juga dapat menggunakan layanan-layanan pelaporan berikut ini, yang dapat direkomendasikan kepada korban yaitu pihak sekolah (guru atau guru BK), portal LAPOR (https://kemdikbud.lapor.go.id/), Layanan SAPA di nomor hotline 129, serta unit pelayanan di daerah (mis., UPT PPA / P2TP2A) Dinas Sosial atau Dinas Pendidikan di daerah masing-masing.
“Kemudian mengenai masalah intoleransi. Intoleransi ini merupakan kekerasan biasa yang bermula dari ketidak mampuan bertoleransi atas perbedaan (apapun). Nilai atau pendekatan yang perlu kita berikan kepada anak antara lain: yang pertama mengembangkan Hubungan Reflektif (untuk membahagiakan orang lain, dimulai dari membahagiakan diri sendiri)”
“Yang kedua, menanamkan Disiplin Positif pada buah hati (disiplin yang tanpa ada ancaman, tanpa ada hukuman, dan tanpa ada sogokan), dan yang ketiga, Belajar Efektif (mendampingi buah hati sesuai dengan tahap perkembangan usia anak, dan membina hubungan baik dengan sekolah). Nah, tiga pesan kunci yang perlu dibicarakan bersama anak adalah Beda itu perlu (untuk berkolaborasi), Beda itu biasa, Beda tapi setara (tidak ada yang lebih rendah daripada yang lain),” ujarnya.
Lebih jauh, Candra mengatakan, kuliah umum di Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Konseling ini dirangkaikan dengan penandatanganan IA (Implementation of Arragement) antara Prodi Psikologi FIPP UNIMA, Prodi BK, Prodi Pendidikan Luar Biasa FIPP UNIMA dengan Jurusan PGSD FIP UNG dan disaksikan oleh Pimpinan Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi. Ketua Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Konseling Dr. Melkian Nahari, S.Psi., M.Pd sangat mengapreasi atas capaian kerjasama ini dan berharap akan terus berkelanjutan dengan ragam kegiatan yang relevan.
“Wakil Dekan 1 FIPP UNIMA, Dr. Tellma Monna Tiwa, S.Pd, M.Si dalam sambutannya turut menyampaikan apresiasi dan terima kasih atas kehadiran narasumber dan sekitar 300 orang mahasiswa yang begitu antusias dalam mengikuti kuliah umum. Selain mendapatkan ilmu dari internal kampus, mahasiswa juga didorong mendapatkan ilmu dari luar, ucap Dr. Tellma,” tandasnya.
