fip.ung.ac.id, Gorontalo – Menjadi narasumber pada acara Tamu Kita yang diselenggarakan oleh Radio Republik Indonesia (RRI) Gorontalo, Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Negeri Gorontalo (UNG), Dr. Pupung Puspa Ardini, M.Pd. MCE, membahas tentang“Gaya Hidup Mewah Generasi Muda, Antara Citra dan Realita”. Selasa (28/02/2023)

Dr. Pupung Puspa Ardini, M.Pd. MCE mengatakan, ada beberapa pola asuh anak yang dilakukan oleh orang tua antara lain ada yang dialogis atau demokratis, ada yang permisif, dan ada yang otoriter.

“Jadi, kalau yang permisif ini nih, yang apa aja di lostkan, dikasih aja gitu. Jadi, misalnya orang tua mampu, anak minta budget berapa aja itu langsung dikasih. Jadi hanya sekedar kemauan dari anak, tanpa melihat kebutuhan”

“Ada juga yang otoriter, kalau yang otoriter ini keras ya, yang semua pusat dari kontrol itu ada di orang tua, bahkan sampai mungkin bisa melakukan kekerasan supaya anak ini mau patuh pada orang tua,” kata Pupung.

Pupung mengatakan, ada juga pola asuh dialogis atau demokratis, yang dialogis ini ada komunikasi antara orang tua dengan anak, dan karakter itu atau penanaman karakter ini dimulai dari anak masih dalam kandungan.

“Bagaimana si Ibu disiplin, bagaimana si Ibu menanamkan nilai-nilai ketika masih dalam kandungan, kemudian ketika lahir disiplin ini bukan berarti kemudian memberikan kekerasan terhadap anak supaya patuh, tapi melalui konsekuensi dan konsisten”

“Jadi, kalo misalnya mau anak bangun pagi dari dalam kandungan, si Ibu juga membiasakan untuk bangun pagi dan beraktivitas, jadi janin juga akan ikut terbiasa. Karena kalau Ibu tidur,  janin tidur, Ibu bangun, janin juga bangun,” ujarnya

Kemudian, kata Pupung, ketika di masa-masa usia dini, karena itu memang masa fondasi dasar yaitu dengan penanaman disiplin, tanggung jawab, ketika ada keinginan bukan hanya sekedar keinginan, tapi juga memang kebutuhan.

“Bagaimana caranya anak memperoleh itu tidak hanya dengan mudah tapi ada sesuatu yang bisa dilakukan, seperti misalnya tadi harus menabung dulu, dan itu dikomunikasikan dengan orang tua”

“Dan itu dibiasakan, karena kalau pembentukan karakter itu melalui pembiasaan, karena ada pembentukan karakter itu menurut Erik Erikson, itu mulai dari pertama ada trust mistrust. Ketika bayi usia 0 sampai 2 tahun, itu di situ orang tua benar-benar menanamkan kasih sayang kepada anak-anak sehingga muncul kepercayaan,” ucap Pupung.

Ia menjelaskan, kepercayaan terhadap dunia lingkungannya, sehingga akhirnya muncul otonomi atau kemandirian, kemudian ada tahapan-tahapan lain yang memang membentuk karakter anak ini supaya tidak hanya sekedar memenuhi keinginannya untuk gaya hidup.

“Kalau saya prinsipnya, tadi konsekuensi dengan konsistensi. Jadi ketika ingin memberikan sesuatu ke anak, ada momen dan ada konsekuensi. Karena apa, misalnya di rumah memang mau bantu ketika libur, seperti beres-beres bantu orang tua gitu. Jadi, bukan karena tanpa sebab atau tanpa maksud apa, memberikan itu harus ada manfaatnya”

“Dan ketika meminta, tetap ada dialogis. Dialog ini sebenarnya untuk apa sih, kebutuhannya untuk apa?. Jadi ketika anak perlu, anak datang minta sesuatu harus ada dialog dulu. Itu juga untuk menanamkan dan menumbuhkan critical thinking anak gitu. Jadi ketika dia sudah memiliki benda yang dia minta, dia akan punya tanggung jawab.

“Ada kesepakatan juga kalau misalnya ketika dia mau tas misalnya, tidak sepenuhnya uangnya dari orang tua, dia juga nabung nyisihin uang jajannya misalnya. Jadi seperti tim, karena memang saya sebenarnya melatih mereka berkomunikasi”

“Karena, kan nanti juga di masyarakat, ketika dia sudah bekerja, dia juga akan melakukan hal seperti itu nantinya. Jadi dibiasakan dari rumah segala sesuatu itu di komunikasikan, dan kemudian yang diminta itu memang harus bermanfaat,” ujarnya.

Leave a Comment