fip.ung.ac.id, Opini – Tak terasa ummat Islam di seluruh dunia sudah berada di bulan yang penuh Rahmat, berkah dan ampunan, yakni bulan suci Ramadhan 1444 H atau 2023 M. Bagi ummat Islam, bulan puasa tidak hanya dipandang sebagai momentum untuk menahan lapar dan dahaga pada siang hari, tapi bulan suci Ramadhan merupakan wahana penting untuk meraih rahmat, berkah, magfirah dan pengampunan Allah SWT dengan lebih mendekatkan diri melalui ibadah wajib maupun ibadah sunnah lainnya.
Dalam sebuah hadits qudsi dijelaskan, bahwa amal ibadah selain puasa adalah untuk menausia itu sendiri, namun ibadah puasa untuk Allah SWT. Oleh karena itu, ibadah puasa dalam manifestasinya, memiliki kekhususan dan keistimewaan tersendiri yang sangat fundamental dalam kerangka mengukuhkan eksistensi Hablun Minallah yang berdimensi pada Hablun Minanas.
Dalam perspektif Sufi Ibnu Al-Arabi, Puasa merupakan sifat Samdaniyyah–sifat khusus yang hanya dimiliki Allah SWT-sebagai Maha Tempat Bergantung–yang berupa pelepasan dan penyucian dari makanan yang menjadi sebuah instrumen penting bagi setiap umat untuk bertahan hidup. Itulah sebabnya, ketika puasa dikerjakan sesuai dengan tuntunan syariat, maka ibadah puasa menjadi asbab bagi seorang ummat mendapatkan balasan pahala yang melimpah dari Allah SWT, sebagaimana hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah bersabda yang artinya : “Setiap amal anak Adam menjadi miliknya kecuali puasa, ia milik-Ku dan Aku (Allah SWT).
Dalam perspektif ini menurut Sufi Ibnu Arabi, seakan-akan Allah menyatakan kepada orang yang berpuasa, “Akulah yang menjadi imbalannya, karena Akulah yang dituntut oleh sifat pelepasan dari makanan dan minuman, tetapi engkau melekatkan sifat itu padamu wahai orang yang berpuasa,” tulis terjemahan Al-Futuhat Al Makkiyyah karya Muhyiddin Ibn Al-Arabi, sebagaimana dikutip Alif.id. Lebih lanjut dalam kitab itu dijelaskan, kesabaran (yang ada dalam puasa) adalah pengekangan bagi jiwa, dan engkau telah mengekangnya atas perintah-Ku dari mengonsumsi makanan dan minuman yang diperbolehkan,” Tidak heran jika dalam sebuah haditsnya, Rasulullah SAW bersabda “Hendaklah kamu berpuasa, karena tidak ada yang serupa dengannya,”
Bagi seorang muslim, puasa adalah bagian dari ibadah yang mengandung kegembiraan, yakni kegembiraan saat berbuka puasa dan kegembiraan bertemu dengan Rabbnya. Hal itu mengandung makna, bahwa kegembiraan saat berbuka adalah kegembiraan untuh ruh hewani manusia, bukan yang lain. Sementara kegembiraan bertemu dengan Rabb adalah kegembiraan untuk jiwa rasionalnya, yakni sisi lembut Rabbaninya. Oleh karena itu, ibadah Puasa memiliki kedudukan yang berbeda dengan ibadah lainnya seperti Sholat, yakni Puasa berdimensi “musyahaddah” pertemuan dan pensaksian atau ada hijab yang menyertainya, sementara Sholat berdimensi munajat kepada Sang Khaliq. Musyahadah dan munajat tidak akan pernah bisa bersatu. Musyahadah membuat orang terpana, sementara percakapan memberikan pemahaman,”
Menurut Harun Nasution (1979), puasa pada hakekatnya merupakan bagian untuk membangkitkan kesadaran yang menempatkan kedaulatan Ilahiyah, ruhaniah, dan spiritual di atas kedaulatan insaniyah, jasmaniah, dan material. Dalam aspek ini, maka orang yang menunaikan ibadah puasa diibaratkan seperti orang yang tengah menempuh sebuah perjalanan panjang, siang dan malam untuk mendekatkan diri dengan Tuhannya. Semakin banyak hari yang digunakan untuk berpuasa dan melakukan amaliah sunnah lainnya, semakin dekat hubungan manusia kepadaTuhan. Al-Qur’an surat al-Baqarah (2) ayat 186 yang merupakan rangkaian dari ayat tentang puasa misalnya, mengisyatkan dekatnya orang yang berpuasa dengan Tuhan. Arti selengkapnya ayat tersebut adalah “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila dia berdo’a kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.”
Pengalaman kedekatan dengan Tuhan inilah yang pernah dirasakan oleh para sufistik. Salah seorang diantaranya adalah Rabi’ah al-Adawiyah (714-801 M.) dengan Mahabbah (Cintanya pada Tuhan). Dalam berbagai referensi tentang tasawuf dapat dijumpai ekpresi batiniyah para sufi yang dingkapkan dengan kata-kata yang menggambarkan kedekatan dirinya dengan Tuhan. Ketika sampai pada tahap al-Mahabbah, Rabi’ah misalnya berkata: “Kekasih hatiku hanya Engkaulah yang kucinta. Beri ampunlah kepada pembuat dosa yang datang ke hadirat-Mu, Engkaulah harapan, kebahagiaan dan kesenanganku. Hati telah enggan mencintai selain dari diri-Mu.” Sedangkan ketika mencapai al-Ma’rifah, Zunnun al-Mishri berkata: “Aku mengetahui Tuhan melalui Tuhan, dan jika sekiranya tidak karena Tuhan, aku tidak akan tahu pada Tuhan.”
Dari perspektif tersebut di atas, sangat jelas bahwa puasa, bukan sekadar menahan lapar dan maupun menghindari jima’ (berhubungan badan) pada siang hari, tapi puasa, merupakan momentum untuk mendekatkan diri dengan Sang Khaliq yang benar-benar atas dasar “mahabbah” atau cinta kepada Allah SWT. Manifestasi cinta menurut Al-Ghazali diungkapkan dalam kalimat “al-Takhalluq bi akhlak Allah ‘ala thaqah a-basyariyah”, yakni setiap orang (Muslim) menghiasi diri dengan sifat-sifat Allah sesuai dengan kadar kesanggupan manusia.”Jika Allah bersifat Maha Pengasih dan Maha Penyayang misalnya, maka manusia juga seharusnya menunjukkan sifat kasih sayangnya itu kepada sesama manusia. Selanjutnya jika Allah bersifat Maha Mengetahui dan Maha Kreatif, maka manusia juga seharusnya menghias dirinya dengan berbagai pengetahuan dan jiwa yang kreatif, sehingga ia akan menjadi manusia yang unggul, berpengetahuan yang luas dan kreatif, sehingga ia mampu bersaing di era globalisasi.
Dengan begitu maka dapat dimaknai, bahwa ibadah puasa yang berdimensi sufistik tidak menghendaki manusia mengisolasi diri di tengah kesunyian atau meninggalkan tanggung jawab individual dan tanggung jawab sosial, melainkan menterjemahkan, menginternalisasikan dan mensublimasikan kemampuan mengendalikan diri dengan terus memanifestasikan nilai-nilai spiritualitas dan sifat-sifat Illahiah ke dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Terima Kasih. Selamat Menunaikan ibadah Puasa (***)
Penulis adalah Guru Besar Tetap Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Gorontalo, Ketua TP-PKK Kabupaten Gorontalo, Ketua PGRI Kabupaten Gorontalo, Ketua ICMI Kabupaten Gorontalo, Ketua Pokja Bunda PAUD Kabupaten Gorontalo, Ketua Kwartir Cabang Gerakan Pramuka Kabupaten Gorontalo.