fip.ung.ac.id, Opini – Hakikat zakat adalah proses penyucian diri yang berdimensi kemanusiaan. Di satu sisi, zakat merupakan wujud ketaatan pada perintah Allah SWT sebagai konsekuensi pernyataan keimanan. Selain itu juga merupakan penegasan bahwa dalam islam, setiap ritual selalu mempunyai dimensi sosial yang menyentuh sisi kemanusiaan secara langsung.Berbicara tentang zakat, ada sesuatu yang special dengan zakat fitrah.
Dalam satu hadits dikatakan; dari Ibnu Abbas r.a., ia berkata : Rasulullah saw telah memfardhukan zakat fithrah untuk membersihkan orang yang puasa dari perbuatan sia-sia dan dari perkataan keji dan untuk memberi makan orang miskin. Barang siapa yang mengeluarkannya sebelum shalat, maka ia berarti zakat yang di terima dan barang siapa yang mengeluarkannya sesudah shalat ‘Ied, maka itu berarti shadaqah seperti shadaqah biasa.
Berbeda dengan zakat-zakat lainnya yang lebih berfungsi untuk “membersihkan harta”, zakat fitrah adalah satu-satunya zakat yang diwajibkan bagi setiap muslim untuk “menyucikan jiwa”. Oleh karena itu, zakat fitrah tidak saja diwajibkan bagi mereka yang kaya, akan tetapi juga bagi mereka yang kurang berkecukupan. Jadi meskipun orang itu ‘miskin’ menurut kategori umum, dia tetap wajib membayar zakat fitrah namun dia pun berhak menerima zakat fitrah.
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam mewajibkan zakat fitrah sebesar satu sho’ kurma atau satu sho’ sya’ir atas seorang hamba, orang merdeka, laki-laki dan perempuan, besar kecil dari orang-orang islam; dan beliau memerintahkan agar dikeluarkan sebelum orang-orang keluar menunaikan sholat Ied.
Zakat fitrah selain berfungsi melengkapi puasa Ramadhan, juga berfungsi menyambut lebaran Idul Fitri. Karena itu, fungsi kedua dari zakat fitrah adalah berbagi kebahagiaan dengan fakir miskin. Dua hikmah ini, dengan baik disampaikan oleh Ibn Abbas: “RasululLah men-fardhukan zakat fitrah untuk menyucikan diri seorang yang puasa dari al-laghw dan rafats, dan untuk memberi makan orang-orang miskin”. Banyak juga hakikat dan fungsi zakat yang lain semua Allah SWT pasti mengetahuinya di balik hikmahnya Allah SWT memerintahkan sesuatu ibadah.
Dalam al-Qur’an, Allah swt berfirman: “Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.” (QS. An-Nur [24]: 56) Secara eksplisit, ayat di atas menggunakan kata perintah, wa atuzzakah (tunaikanlah zakat), yang menunjukkan arti wajib. Menurut Syekh Abdurrahman as-Sa’di (w. 1956), ayat di atas menunjukkan perintah ketaatan yang sempurna. Zakat merupakan ketaatan dalam bentuk harta guna memenuhi hak sesama manusia. Sementara perintah sebelumnya adalah shalat, ketaatan untuk memenuhi hak Allah. Kumpulnya dua hak ini (hak Allah dan hak sesama manusia), merupakan bentuk ketaatan yang sangat agung. (lihat Tafsir as-Sa’di, juz 1, hal 573).
Seorang ulama sufi Imam Ghazali, ada tiga hal mengapa zakat dikategorikan sebagai salah satu rukun Islam. Pertama, zakat merupakan wujud totalitas kecintaan seorang hamba kepada Allah swt. Rukun Islam pertama adalah mengucapkan dua kalimat syahadat. Dengan syahadat, berarti seorang hamba telah berkomitmen atas ketunggalan Allah swt. Tidak ada Tuhan selain-Nya. Untuk menyempurnakan pengesaannya terhadap Allah, menurut Al-Ghazali, seorang hamba harus betul-betul menunggalkan Allah swt. Tidak boleh ada sesuatu yang dicintai selain Allah dalam hatinya. Oleh karena itu, zakat yang dalam praktiknya ‘melepaskan sebagian harta’, melepaskan sesuatu yang dicintai, merupakan bentuk pemurnian ketauhidan terhadap Allah swt. Dengan mengeluarkan harta, berarti telah melepaskan sesuatu yang dicintai. Sehingga dalam hati hanya ada Allah semata.
Kedua, membersihkan diri dari sifat kikir (pelit). Salah satu ciri-ciri orang yang kikir adalah enggan mendermakan harta. Baginya, harta dikumpulkan hanya untuk kepuasan diri semata. Islam mencela sifat kikir ini.
Ketiga, sebagai rasa syukur atas nikmat Allah swt. Al-Ghazali membagi nikmat menjadi dua, yaitu nikmat anggota badan dan nikmat harta. Cara mensyukuri nikmat anggota badan adalah dengan ibadah badaniyyah, seperti melaksanakan shalat. Sementara cara mensyukuri ibadah maliyyah adalah dengan mengeluarkan zakat. Lebih dari itu, menurut Al-Ghazlai, zakat bukan sebatas bentuk syukur. Tetapi juga sebagai wujud kasih sayang terhadap orang-orang yang membutuhkan. Banyak orang yang hidup belum berkecukupan, dan zakat adalah bentuk kepedulian dan kasih sayang terhadap sesama. Apa yang disampaikan Imam Ghazali di atas, cukup kiranya mendewasakan cara kita beribadah.
Besaran zakat fitrah setiap orang adalah satu sha’ atau setara dengan 3,5 liter atau sekitar 2,5 kg makanan pokok. Zakat ini bisa berupa beras, gandum, dan sejenisnya sesuai dengan daerah yang bersangkutan. Zakat fitrah juga bisa diganti dengan uang, namun harus setara dengan harga makanan pokok sesuai besaran zakat tersebut. Besaran tersebut harus sesuai dengan kuantitas beras atau makanan pokok yang kita konsumsi sehari-hari. Jika dikonversikan dalam bentuk uang, nilainya sebesar Rp 35.000.-50.000,-. Sebagai contoh, dalam sebuah keluarga yang terdiri dari dua orang tua dan tiga orang anak atau lima anggota keluarga. Maka, zakat fitrah yang dibayarkan adalah 5 kali Rp 40.000, yaitu Rp 200.000.
Niat bayar zakat fitrah terbagi berdasarkan masing-masing orang yang akan menunaikannya. Dalam pembayarannya, zakat fitrah boleh diwakilkan bagi anak-anak kecil yang belum mengerti tentang hal ini.
Biasanya orang tua akan mewakili anak-anaknya yang belum mengerti soal kewajiban zakat fitrah. Banyak juga yang membayarkan zakat fitrah sekaligus mewakili satu keluarga untuk menunaikan kewajiban seluruh keluarga.
Dalam menunaikannya, zakat fitrah bisa diberikan ke daerah terdekat terlebih dulu. Seperti menyerahkannya ke masjid atau musala terdekat, bisa juga melalui lembaga amil zakat yang resmi. (ar.16.04.2023)
Rujukan:
Penulis: Sayyid Abdullah bin Muhammad as-Siddiq al-Ghumari (1985). Ghayatul Ihsan fi Fadli Zakatil Fithri wa Fadli Ramadhan Makkah: Maktabah ‘Alimul Kitab.
Iqbal Ambara (2019), Problematika Zakat dan Pajak di Indonesia, Jakarta: Sketsa
Abdurrachman Qadir (2021), Zakat Dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Penulis adalah Guru Besar Tetap Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Gorontalo, Ketua Jurusan S2 PNF PPs UNG, Ketua P-ADRI Provinsi Gorontalo, Founder Ideas Publishing Gorontalo.