fip.ung.ac.id, Gorontalo – Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Negeri Gorontalo (UNG) Dr. Pupung Puspa Ardini, M.Pd, MCE didaulat menjadi narasumber pada kegiatan sosialisasi dan advokasi pencegahan kejahatan seksual terhadap anak dan remaja yang diselenggarakan oleh Pokja I TP-PKK Provinsi Gorontalo, Kamis-Rabu (3-9/08/2023.
Dalam materinya yang berjudul “Pencegahan Kekerasan Seksual pada Anak dan Remaja: Just SPEAK UP”, Dr. Pupung Puspa Ardini, M.Pd, MCE mengatakan, kekerasan pada anak adalah merupakan suatu perbuatan, perlakuan, atau sikap penelantaran yang mengakibatkan keadaan tidak sehat bahkan sampai kematian (Ariani, 2019).
“Term used for acts of commission things parent or caretaker does to child that inappropriate”. (Monoca, 2009). Terdapat empat macam kategori utama tindakan kekerasan terhadap anak diantaranya: pengabaian, kekerasan fisik, pelecehan emosional atau psikologis dan pelecehan seksual (agata, 2012)”
“Menurut WHO kekerasan terhadap anak mencakup semua bentuk perlakuan yang salah baik secara fisik dan/atau emosional, seksual, penelantaran, dan eksploitasi yang berdampak atau berpotensi membahayakan kesehatan, perkembangan, dan harga diri anak dalam konteks hubungan tanggungjawab (Kurniasasi, 2019),” ujar Pupung.
Pupung mengatakan, pengabaian dan penelantaran ini yaitu sikap dan perlakuan orang tua dengan tidak memberikan perhatian atau pengasuhan yang layak terhadap tumbuh kembang anak seperti contohnya anak dikucilkan atau tidak diberikan pendidikan.
“Selanjutnya kekerasan fisik, kekerasan fisik yang dilakukan kepada anak secara fisik ini yang menimbulkan cedera atau luka yan terlihat di badan anak dan dilakukan secara sengaja. Kekerasan emosional atau psikologis adalah kondisi dimana anak tidak merasa aman dan juga nyaman dengan cara mengucapkan kata-lata kasar terhadap anak atau mempermalukan anak di depan orang lain.
“Sedangkan kekerasan seksual adalah merupakan perlakuan menyiksa kepada anak secara seksual dan juga terlibat atau mengambil bagian atau melihat aktivitas yang terkait dengan seks dengan tujuan pornografi, gerakan badan, film, atau sesuatu yang bertujuan mengeksploitasi seks terhadap anak,” ucap Pupung.
Menurutnya, pelecehan seksual adalah istilah yang luas, termasuk di antaranya perhatian seksual verbal dan fisik yang tidak diinginkan. Kekerasan seksual mengacu pada kontak atau perilaku seksual, seringkali fisik yang terjadi tanpa persetujuan korban.
“Latar belakang dari tindakan pelecehan seksual diawali dengan bentuk kekerasan yang berakar dari ketidak setaraan gender. Perempuan dianggap pantas untuk dikorbankan dan diperlakukan sebagai objek pemuas kepentingan laki-laki termasuk membolehkan tindak kekerasan (Wahid & Irfan, 2001)”
“Perlindungan hukum yang diberikan terhadap korban pelecehan seksual ini diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan korban. Sedangkan pengaturan hak-hak korban kekerasan seksual diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS),” ucapnya.
Dosen tetap Jurusan PGPAUD FIP UNG itu berharap, dalam pencegahan tindak pidana kekerasan seksual ini, diperlukan partisipasi aktif masyarakat dalam pencegahan, pendampingan, pemulihan dan pemantauan terhadap Tindak Pidana Kekerasan Seksual, membudayakan literasi dan menguatkan edukasi serta komunikasi yang berkualitas (kemenkumham).