fip.ung.ac.id, Gorontalo – Setiap tanggal 29 Juni, Pemerintah Indonesia sejak tahun 1993 memperingati Hari Keluarga Nasional (Harganas). Untuk pertama kalinya, peringatan Harganas dicanangkan oleh Presiden Soeharto pada 29 Juni 1993 di Provinsi Lampung. Sementara untuk tahun 2023 ini, peringatan Harganas ke-30 dipusatkan di Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan yang puncaknya dilaksanakan pada tanggal 6 Juli 2023 yang dihadiri langsung oleh Wakil Presiden Prof. K.H. Ma’ruf Amin.
Namun dibalik itu, satu hal yang menjadi spirit dan marwah peringatan Harganas adalah sebagai momentum untuk mengingatkan seluruh masyarakat Indonesia, betapa pentingnya suatu keluarga. Keluarga mempunyai peranan dalam upaya memantapkan ketahanan nasional dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa. Dari keluargalah kekuatan dalam pembangunan suatu bangsa akan muncul dan tercetus.
Dengan kata lain, Harganas merupakan momentum penting bagi seluruh keluarga Indonesia untuk memaknai peran strategisnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apa peran keluarga itu?,yakni mewujudkan dan mengupayakan secara maksimal anggota keluarganya agar menjadi insan-insan yang berkualitas, yakni memiliki kualitas hidup-iman dan takwa yang kemudian menjadi “asbabun nuzul” tercapainya kesejahteraan dan kemajuan bangsa.
Secara universal setiap bangsa di seluruh dunia bersepakat, bahwa keluarga merupakan institusi-institusi terkecil dalam sebuah bangsa yang darinya sangat menentukan nasib bangsa itu sendiri. Jika institusi keluarga itu berkualitas, maka maju dan berkembanglah bangsa itu. Sebaliknya, jika institusi-institusi keluarga itu rusak, maka hancurlah negara itu. Keluarga dengan demikian, merupakan ujung tombak yang sangat menentukan masa depan bangsa, sekaligus menjadi benteng yang kokoh untuk menjaga keutuhan dan ketahanan bangsa.
Mengapa disebut demikian? Karena seluruh bangsa di manapun senantiasa menghadapi beragam resistensi-resistensi yang menjadi penghambat suatu kemajuan. Negara atau suatu bangsa tidak hanya berbicara tentang persatuan dan kesatuan, tapi juga bersinggungan dengan kemajuan, harkat dan martabat kemanusiaan yang harus maju, unggul dan berdaya saing. Di sisi yang lain, untuk mencapai semua itu, terdapat hambatan, rintangan dan tantangan yang menghadang. Di antaranya adalah sikap dan pola hidup yang destruktif yang mengandung resistensi terhadap hilangnya identitas serta jati diri kemanusiaan yang hakiki.
Paling tidak, terdapat 3 dimensi ruang yang menjadi agenda untuk memperteguh dan memperkokoh kedudukan keluarga sebagai sebuah institusi kecil dalam ruang lingkup kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertama, dimensi keluhuran budi anggota keluarga agar tidak terjebak pada pola hidup dan perilaku yang beresiko. Dimensi ini berbicara tentang ketahanan diri yang terkait erat dengan kualitas spiritual dengan pilar agama dan budaya. Dalam dimensi ini, maka tugas dan peran keluarga, adalah mawas diri, menjaga dan membentengi keluarganya dari berbagai sikap dan perilaku yang menyimpang. Sebutlah misalnya, penyalahgunaan narkotika, tindak kejahatan dan kriminal serta penyimpangan hidup lainnya yang menjadi pemicu menurunnya kualitas kemanusiaan.
Kedua, dimensi kekaryaan yang merujuk pada eksistensi kemanusiaan yang memiliki naluri untuk sehat dan berkarya, bertahan hidup dan berkompetisi. Dalam dimensi ini berbicara tentang kualitas kesehatan anggota keluarga, kemudian keterampilan/skill atau kompetensi agar anggota keluarga menjadi unggul dan berdaya saing hingga mencapai derajat kesejahteraan yang sangat memadai. Ketiga, dimensi kebangsaan. Aspek ini terkait dengan wawasan kebangsaan, semangat persatuan, gotong-royong dan aspek sosial kemasyarakatan serta kebangsaan lainnya.
Jika seluruh keluarga mampu memanifestasikan 3 dimensi ruang yang menjadi agenda institusi keluarga tersebut di atas, maka bangsa ini akan mencapai perubahan dan peradaban yang unggul. Bagaimanapun juga, resistensi kemajuan ini sangat bergantung pada aspek “sumber daya manusia” atau “human resourch development’ atau sumber daya insani yang berkualitas.
Dalam konteks ini, setiap keluarga memiliki tanggung jawab sosial yang bersifat mengikat dalam kerangka mempertahankan eksistensi keluhuran dan keturunannya yang beradab. Hal itu merujuk pada perspektif agama sebagaimana Firman Allah SWT:
“Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”.Bagaimana caranya? Abdullah bin Abbâs Radhiyallahu anhu berkata, “Lakukanlah ketaatan kepada Allâh dan jagalah dirimu dari kemaksiatan-kemaksiatan kepada Allâh, dan perintahkan keluargamu dengan dzikir, niscaya Allâh Azza wa Jalla akan menyelamatkanmu dari neraka”.