FIP UNG

Pancasila, Oleh: Prof. Dr. Fory Armin Naway, M.Pd

fip.ung.ac.id, Gorontalo – Setiap tanggal 1 Juni, bangsa Indonesia memperingati hari lahir Pancasila, yakni tonggak awal tercetusnya dasar negara yang pertama kali diperkenalkan Ir. Soekarno pada Rapat Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) 1 Juni 1945. Sejarah lahirnya Pancasila sendiri, bermula dari rapat-rapat “Dokuritsu Junbi Cosakai” yang kemudian berganti menjadi BPUPKI yang dibentuk pada 29 April 1945. BPUPKI bertugas menyelidiki semua hal penting termasuk politik, ekonomi, dan lain-lain yang dibutuhkan dalam usaha pembentukan negara Indonesia yang kala itu diketuai oleh KRT Dr Radjiman Wedyodiningrat.

Dalam perkembangannya, Pancasila akhirnya ditetapkan sebagai Dasar Negara yang dituangkan dalam Undang-Undanv Dasar 1945 dan menjadi sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di Indonesia.

Penetapan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila dan merupakan hari libur nasional  tertuang  dalam Surat Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo.

Itulah sedikitnya uraian pengantar sebagai refleksi hari lahir Pancasila 1 Juni 2023 besok yang tentu diharapkan, dapat dimaknai di tengah suasana libur nasional. Penetapan hari lahir Pancasila tersebut, mengandung pesan tentang pentingnya memaknai, menelaah dan menghayati nilai-nilai Pancasila oleh setiap warga negara Indonesia.

Ketuhanan Yang Maha Esa dalam sila pertama menjadi spirit penting bagi sila-sila berikutnya. Disebut demikian, karena kesadaran, keyakinan dan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa akan mengarahkan seorang hamba atau setiap orang untuk memanifestasikan nilai-nilai kemanusiaan, selalu bersatu dan memupuk persatuan dalam kebhinekaan.

Selanjutnya, orang yang beriman, juga sangat sadar terhadap keberadaan sebagai makhluk sosial yang harus berinteraksi dengan sesama makhluk lainnya. Dalam berinteraksi itu, sudah pasti dibutuhkan semangat persaudaraan, kekeluargaan, kegotong-royongan yang mau menghargai pendapat orang lain, memiliki itikad yang baik untuk bermusyawarah dan bermufakat dalam menyelesaikan berbagai persoalan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan

Orang yang sudah terpatri nilai-nilai keimanan kepada Tuhan yang Maha Esa, sudah pasti ia menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dalam kehidupannya, ia bersikap kritis, memiliki semangat dan komitmen untuk mewujudkan keadilan sosial. Minimal ia akan bersikap adil dalam ruang lingkup kehidupan keluarganya

Pancasila dengan demikian, tidak saja menjadi dasar dan pijakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara institusional dan kelembagaan, tapi pemaknaan dan penghayatan Pancasila melekat dalam setiap pribadi dan individu warga negara yang berakal sehat.

Sila pertama dapat disebut sebagai modal dasar bagi setiap orang dalam memanifestasikan nilai-nilai Pancasila. Hal itu cukup beralasan, karena keimanan menuntut aplikasi yang bertumpu pada menjaga kesejatian manusia yang harus berbuat baik, beramal shaleh, berbudi pekerti yang luhur, senantiasa beribadah dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Dalam konteks yang lebih manifestatif lagi, Pancasila sebenarnya dapat dipupuk dan dsemaikan dalam ruang kehidupan keluarga Indonesia. Keluarga adalah institusi pendidikan yang terutama dan pertama dalam kehidupan setiap orang. Semenjak bayi, balita hingga kemudian tumbuh menjadi seorang anak-anak dan remaja, keluarga merupakan ruang bagi seorang anak untuk berinteraksi dalam hidup yang sesungguhnya

Institusi pendidikan atau sekolah, kedudukannya hanya sebagai pelengkap atau memperkuat basis pendidikan yang diperoleh seorang anak di bangku pendidikan keluarga. Oleh karena itu, setiap orang tua dalam konteks ini sudah sejatinya memberikan ruang perhatian yang besar terhadap kondisi anak-anaknya di rumah.

Ketika anaknya  masih usia balita misalnya,  orang tua tidak sekadar sibuk mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan fisik dan jasmaniah anak-anaknya, tapi juga mulai memberikan asupan nilai-nilai bagi kebutuhan psikis, mental dan rohaninya sehingga terus tumbuh dan berkembang seiring perkembangan fisiknya.

Hakekat menjadi manusia yang pancasilais, tidak sekadar dibicarakan di ruang-ruang publik, di seminar dan forum-forum resmi lainnya, Pancasila juga sejatinya menjadi topik yang mesti dibicarakan dalam ruang makan keluarga, dalam ruang diskusi di tengah ayah-ibu dan anak-anak. Karena Pancasila tidak sekadar ideologi tentang berbangsa dan bernegara, tapi juga mengatur tentang hubungan dan interasi antar individu, antar tetangga dan kerabat dan yang terpenting hubungan antara manusia dengan Tuhannya.

Hal itu penting, karena tantangan ke depan semakin sulit dan kompleks. Generasi muda di masa mendatang dituntut menghadapi persoalan-persoalan yang semakin berat, mulai dari tantangan meraih peluang kerja yang sarat dengan kompetisi yang ketat, juga menghadapi tantangan global dengan hadirnya pengaruh-pengaruh negatif yang dapat menyeret setiap orang pada kehidupan yang hampa.

Oleh karena itu, momentum hari lahir Pancasila dapat dimaknai sebagai wahana untuk membangun sebuah kehidupan yang lebih bermakna, yang berawal dan bermula dari kehidupan keluarga. Pancasila tidak hanya dihafalkan dan dilafadzkan tapi dihadirkan dalam ruang-ruang yang lebih konkrit dan aplikatif yang bermuara pada menjunjung tinggi nilai-nilai Illahiah dan nilai-nilaj kemanusiaan. Semoga (***)