FIP UNG

Tahun Baru Hijriyah dan Manusia Baru, Oleh: Prof. Dr. Fory Armin Naway, M.Pd

fip.ung.ac.id, Gorontalo – Tidak terasa tahun 1444 Hijriyah telah berlalu dan kita saat ini tengah menapaki tahun baru 1445 Hijriyah seiring datangnya tanggal 1 Muharam yang bertepatan dengan tanggal 19 Juli 2023. Semoga saja, tahun baru Islam kali ini menjadi momentum penting bagi kita, khususnya ummat Islam untuk memaknai semangat hijrah guna menggapai keridhaan Allah SWT disatu sisi dan kehidupan yang lebih baik di sisi yang lain.

Bulan Muharram termasuk salah satu dari 4 bulan yang dimuliakan, sebagaimana Firman Allah dalam Al-Quran surah at-Taubah ayat 36 : “Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) ketetapan Allah (di Lauh Mahfuz) pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram…..” At-Thabarani dalam tafsirnya mengatakan 4 bulan tersebut yang dimaksud adalah bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab.

Bahkan menurut para ulama, bulan Muharram adalah bulan yang dimuliakan jauh sebelum datangnya Islam. Pada bulan ini Allah SWT melarang manusia untuk melakukan perbuatan dzalim, bermaksiat dan melarang untuk berperang yang menyebabkan pertumpahan darah.

Selain itu, bulan Muharam sebagai tahun baru Hijiriyah dapat dimaknai sebagaj momentum untuk “berhijrah” dalam arti yang sangat luas maupun dalam arti yang sempit sesuai dengan kadar kehidupan yang kontekstual dari setiap individu kaum Muslimin.

Momentum tahun baru hijriyah mengandung semangat perjuangan tanpa putus asa dan rasa optimisme yang tinggi, yaitu semangat berhijrah dari hal yang baik ke yang lebih baik lagi.

Kata Hijrah menurut bahasa, memiliki dua pengertian, yakni Pertama, pengertian hijrah secara “Dzahir’ yang berarti perpindahan dari suatu tempat tertentu, menuju ke tempat yang lebih baik. Kedua, pengertian Hijrah secara “maknawi” , yaitu perubahan dari satu kondisi kepada kondisi yang lebih baik.

Kedua pengertian tersebut tidak terlepas asal-muasal kata Hijrah sendiri yang berakar kata “hajara’ yang berarti meninggalkan/menjauhkan diri, baik dalam konteks dzahiriyah maupun maknawiyah.

Namun yan menjadi penekanan dalam konteks tulisan ini adalah, kata Hijrah dalam arti yang “maknawiyah”, yaitu memaknai tahun baru hijrah sebagai momentum untuk introspeksi diri atau merenung dan bermuhasabah yang selanjutnya berkomitmen dan bertekad untuk meninggalkan konsep, gaya, pola, sikap dan tindakan yang tidak baik selama ini, ke arah yang lebih baik.

Itulah sebabnya, bulan Muharam sebagai tahun baru Hijrah disebut sebagai bulan “perjuangan”, karena sesungguhnya untuk mewujudkan sebuah perubahan besar dalam hidup butuh perjuangan, kerja keras dan menuntut kemauan dan tekad yang tinggi untuk berubah.

Paling tidak, jika tahun 1444 Hijriyah yang lalu, kita masih sering melakukan tindakan yang tidak terpuji, mendzolimi orang lain atau masih sering meninggalkan kewajiban syariah dan mengerjakan kebathilan, maka tahun baru hijriyah kali ini menjadi momentum yang tepat untuk berbenah, bertekad untuk tampil menjadi manusia yang berubah bahkan jika perlu bertobat dan mulai menjalani kehidupan yang diridhai oleh Sang Maha Pencipta Allah SWT.

Tekad dalam berhijrah pada tahun baru hijrah menjadi sangat penting, karena terdapat aspek psikologis yang menjadi sugesti yang dapat memperkuat tekad, semangat dan daya tahan dalam upaya pengendalian diri agar tidak terjebak pada perilaku yang menyimpang dan tidak sesuai dengan nilai-nilai agama dan kemanusiaan.

Bagaimanapun, dalam hidup ini, berbagai godaan, hasutan, bisikan dan dorongan hawa nafsu untuk melakukan tindakan-tindakan yang destruktif akan terus membayang-bayangi kehidupan setiap umat manusia. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah ikrar,janji dan tekad di dalam diri sendiri agar sepanjang tahun 1445 Hijriyah, kita menjadi manusia baru, yakni manusia yang secara psikis telah berhasil mentransformasikan nilai-nilai Illahiyah dan nilai-nilai kemanusiaan pada diri sendiri hingga relung-relung kehidupannya memancarkan cahaya yang tidak akan pernah redup oleh godaan apapun.

Tahun baru Hijriyah dengan demikian, memberikan isyarat penting bagi umat Islam untuk menjadi “manusia baru” yang selalu berpikir progresif, menggunakan akal dan nuraninya sebagai “penuntun jalan” , ikhlas menjalankan segala perintahNya dan meninggalkan segala bentuk larangan-laranganNya.

Tahun baru Hijriyah boleh juga disebut sebagai momentum untuk ‘merefresh’ bahkan me-restart aplikasi, onderdil dan komponen jiwa agar kembali kepada hakekat sebagai manusia. Oleh karena itu, sungguh sebuah kerugian besar, jika momentum tahun baru Islam hanya dilewatkan begitu saja, tanpa arti dan makna yang singgah dan membekas dalam sanubari setiap insan.

Jika merefleksikan realitas kehidupan saat ini, dimana masih banyak penyimpangan, ketimpangan, perseteruan, konflik bahkan berbagai tindak kriminal, kasus penyalahgunaan narkotika, terus meningkatnya kasus HIV-AIDS, kasus bunuh diri dan berbagai dekadensi moral yang mencederai konstruksi nilai agama dan kemanusiaan, maka momentum tahun baru Hijriyah kali ini, semoga dapat disikapi oleh siapapun sebagai tahun untuk “berhijrah’, yakni kita menjadi kaum “Muhajirin” yang siap “berjihad” melawan hawa nafsu dan angkara murka. Paling tidak, kesadaran untuk berhijrah ini dapat dimulai dari diri sendiri dan masing-masing individu yang akan terus menjelma menjadi hijrah kolektif. Semoga (***)